I. PENDAHULUAN
Menurut catatan sejarah, pada mulanya ilmu balaghah tidak diperinci
menjadi beberapa bagian melainkan dicampurbaurkan antara yang satu dengan yang
lainnya. Kemudian barulah dipilah-pilah kedalam beberapa bagian pada masa As-Sakaki.
Semenjak itulah sampai sekarang, ilmu balaghah mencakup tiga bagian
di dalamnya, yaitu: ilmu ma’ani, ilmu bayan dan ilmu badi’. Dalam pembahasan
ilmu bayan terbagi ke dalam beberapa bagian yang salah satunya yaitu tentang
Majaz dan itupun terbagi lagi menjadi majaz lughawi dan aqly. Salah satu kajian
dalam majaz lughawi yaitu:
الاستعارة،
و هي ما كانت علاقته تشبيه معناه بما وضع له.[1]
Dan dapat dipahami
secara sederhana sebagai gaya bahasa tasybih yang dibuang salah satu dari musyabbah
dan musyabbah bih-nya, serta hubungan antara makna hakiki dan makna
majazinya yaitu hubungan langsung.
Dalam pembahasan isti’arah terdapat beberapa kategori yang
salah satu akan penulis paparkan lebih lanjut dalam makalah ini yaitu kategori isti’arah
berdasarkan penyebutan musyabbah dan musyabbah bih-nya yakni isti’arah
tashrihiyyah dan makniyyah.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Isti’arah
Tashrihiyyah
B.
Isti’arah
Makniyyah
C.
Perbedaan
antara Isti’arah Tashrihiyyah dan Isti’arah Makniyyah
D.
Alasan
Pemakaian Isti’arah Tashrihiyyah dan Isti’arah Makniyyah
III.
PEMBAHASAN
A.
Isti’arah Tashrihiyyah
1. Pengertian
Menurut
Ali al-Jarim dan Musthafa Amin dalam bukunya Al-Balâghatul Wâdhihah
menyebutkan bahwa Isti’arah Tashrihiyyah adalah:
ما صُرِّحَ فِيْها بلفظ المشبّه به
Dalam bukunya Abdurrahman Hasan Al-Maidani yang berjudul Al-Balaghah
Al-Arabiyah Ususuha Wa Ulumuha Wa Fununuha mendefinisikan Isti’arah Tashrihiyyah adalah:
Isti’arah yang diperjelas dengan
lafadz musta’arnya sendiri.
Dari
definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa Isti’arah Tashrihiyyah
ialah isti’arah yang musyabbah
bih-nya disebutkan dengan jelas di dalam kalimat.
2. Contoh-Contoh:
a. Allah SWT berfirman
dalam Al-Quran Surat Ibrahim ayat 1:
كتاب
أنزلناه إليك لتخرج النّاس من الظلمات إلي النور
(Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang.......
Pada contoh di atas lafadz majazinya
adalah الظلمات (kegelapan) danالنور (cahaya). Benarkah Al-Quran dapat mengeluarkan
manusia dari kegelapan ke alam yang terang benderang? Tentu tidak, karena yang
dimaksud oleh Allah SWT dalam firman-Nya adalah bukan makna hakiki, melainkan
makna majazi-nya yaitu الضلالة (kesesatan) dan الهدى
(petunjuk). Pada ayat
tersebut, Allah SWT menyembunyikan musyabbah-nya dan dinampakkan musyabbah
bih-nya dengan jelas.[4]
b. Al-Mutanabbi berkata ketika ia
disambut dan dirangkul oleh orang yang dipujinya:
فَلَمْ أَرَ قَبْلِى مَنْ مَشَى
الْبَحْرُ نَحْوَهُ :: وَلاَ رَجُلاً قَامَتْ تُعَانِقُهُ الأُسْدُ
Tidak pernah aku lihat sebelumku
orang yang didatangi oleh laut dengan berjalan kaki, dan tidak juga orang yang
dirangkul oleh singa.
Pada bait Al-Mutanabbi di atas mencakup
dua kata majazi yaitu الْبَحْرُ
(laut) dan الأُسْدُ
(singa). Kata الْبَحْرُ
diisyaratkan
dengan kedermawanan seseorang sedangkan kata الأُسْدُ
diisyaratkan
dengan keberanian seseorang yang diserupakan dengan keberanian sesosok singa.[5]
c. Ia berkata dalam memuji
Saifud-Daulah:
أَمَا تَرَى ظَفَرًا حُلْوًا سِوَى
ظَفَرٍ :: تَصَافَحَتْ فِيْهِ بِيْضُ الْهِنْدِ وِاللِّمَم؟
Apakah kamu tahu suatu kemenangan yang paling indah selain
kemenangan yang di dalamnya saling berjabat tangan antara pedang dan kepala?
Pada bait tersebut terdapat satu kata
majazi yakni تَصَافَحَتْ (berjabat
tangan) diserupakan dengan bertemu atau berjumpa atau bersua.[6]
B.
Isti’arah Makniyyah
1.
Pengertian
Menurut
Ali al-Jarim dan Musthafa Amin dalam bukunya Al-Balâghatul Wâdhihah
menyebutkan bahwa Isti’arah Makniyyah adalah:
ما
حُذِفَ فيها المشبّهُ
به و رُمِزَ له بشيءٍ مِن لوازمه
Isti’arah yang dibuang musyabbah
bih-nya, dan sebagai isyarat ditetapkan salah satu sifat khasnya.[7]
Dalam bukunya Abdurrahman Hasan Al-Maidani yang berjudul Al-Balaghah
Al-Arabiyah Ususuha Wa ‘Ulumuha Wa Fununuha mendefinisikan Isti’arah Makniyyah adalah:
Isti’arah yang tidak diperjelas
dengan lafadz musta’arnya sendiri.
Dari
definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa Isti’arah Makniyyah ialah
isti’arah yang musyabbah bih-nya tidak disebutkan dan sebagai
gantinya disebutkan sifat-sifat atau kekhasan atau kebiasaan yang ada padannya.
2.
Contoh-Contoh:
a.
Allah
SWT berfirman dalam Al-Quran Surat An-Nahl ayat 91:
وأوفوا بعهد الله إذا عاهدتم ولا تنفقوا
الأيمان بعد توكيدها وقد جعلتم الله عليكم كفيلا، إن الله يعلم ما تفعلون
Dan tepatilah
perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan
Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.
Di
dalam ayat tersebut, Allah menggunakan kata تنقضوا (memisahkan)
yang disandarkan pada kata الأيمان, padahal kata تنقضوا tersebut
dipakai untuk suatu benda yang nyata. Namun, Allah menyerupakan kata الأيمان dengan
kata الحِبال (tali),
sehingga dalam kalam-Nya tersebut menggunakan kata تنقضوا sebagai
sifat khas dari musyabbah bih yang dibuang.[9]
b.
Al-Hajjaj
menyatakan dalam salah satu pidatonya:
إِنِّي
لَأَرَى رُؤُوسًا قَدْ أَيْنَعَتْ وَحَانَ قِطَافُهَا وَإِنِّي لَصَاحِبُهَا
Sesungguhnya
aku melihat beberapa kepala yang telah masak dan telah sampai waktu panennya
dan saya adalah pemiliknya.
Dalam
pidatonya, Al-Hajjaj menyerupakan kepala dengan buah-buahan.
Sebagai isyarat bagi musyabbah bih yang dibuang dan ditetapkan kata yang
menunjukkan sifatnya yang khas, yaitu kata أَيْنَعَتْ (masak).[10]
c.
Seorang
penyair berkata:
وإِذَا المَنِيَّةُ أَنْشبتْ أَظفارَها :: أَلْفَيْتَ
أنّ كل تَميمةٍ لا تَنْفَعُ
Jika
kematian telah mencengkeramkan kuku-kukunya Engkau akan mengetahui bahwa segala
azimat itu tidak akan ada manfaatnya.
Pada
bait tersebut sang penyair menyerupakan kata المنيّة (kematian)
dengan kata السبع (seekor
hewan predator). Sebagai isyarat dibuangnya musyabbah bih, maka
digantikan dengan sifat yang khas darinya yaitu dengan kata الأَظفار (kuku).
Karena biasanya seekor hewan predator memiliki kuku-kuku yang tajam untuk
mencengkeram mangsanya begitu pula ketika seorang penyair menyerupakan kematian
dengan predator tersebut sebab tidak ada seorang pun yang bisa menghindar dari
kematian.[11]
C.
Perbedaan antara Isti’arah Tashrihiyyah dan Isti’arah Makniyyah
Perbedaan
antara kedua macam isti’arah tersebut terlihat jelas dari definisinya
masing-masing. Dan hal itupun sesuai dengan pengklasifikasian isti’arah-nya
juga.
Perbedaannya yaitu antara lain:
1.
Isti’arah
tashrihiyyah dalam pola
kalimatnya menyebutkan musyabbah bih-nya dengan jelas dan tegas,
sedangkan isti’arah makkniyyah tidak menyebutkannya dengan jelas.
2.
Dalam
isti’arah makniyyah diperlukan adanya suatu kata yang menggantikan musyabbah
bih-nya yaitu berupa sifat-sifat atau kekhasan atau kebiasaan yang ada
padannya, sementara isti’arah tashrihiyyah tidak diperlukan.
3.
Dalam
kalimat isti’arah tashrihiyyah yang dibuang adalah musyabbah-nya,
sedangkan dalam kalimat isti’arah makniyyah yang dibuang ialah musyabbah
bih-nya yang kemudian diganti dengan sifat-sifat
atau kekhasan atau kebiasaan yang ada padanya.
D.
Alasan Pemakaian Isti’arah Tashrihiyyah dan Isti’arah Makniyyah
Istilah isti’arah tashrihiyyah dalam bahasa indonesia
dikenal dengan sebutan majas metafora. Sedangkan istilah isti’arah
makniyyah dikenal dengan sebutan majas personifikasi. Keduanya memakai
bahasa kiasan atau majazi yang mana diserupakan dengan suatu benda yang
memiliki kesamaan dengannya ataupun menyerupakan benda mati dengan benda hidup.
Alasan dari pemakaian kedua majas tersebut ialah untuk efektivitas kalimat,
memperindah uslub kalimat dan mendalamkan makna yang terkandung di dalamnya.
Dengan pemakaian majas tersebut juga dapat menyampaikan perasaan hati yang
begitu dalam yang mana bila tetap menggunakan kata-kata hakikinya, maksud dari
kalimat atau ucapan yang diinginkan tidak tercapai. Seperti contoh berikut.
Isti’arah Tashrihiyyah:
كتاب
أنزلناه إليك لتخرج النّاس من الظلمات إلي النور
bila ayat
tersebut menggunakan kata hakikinya maka menjadi,
كتاب
أنزلناه إليك لتخرج النّاس من الضلالة الي الهدى
Ayat yang memakai kata majazi dengan yang memakai kata hakiki akan
terasa beda bila diresapi. Ayat yang memakai kata majazi akan terasa lebih
agung dan maknanya bisa meresap ke dalam kalbu. Selain itu, kata الظلامات juga bisa dimaknai dengan hal lain yang bermakna buruk. Begitu pula
dengan kata النور bisa
juga dimaknai dengan hal lain yang bermakna baik. Namun jika tetap memakai kata
majazi yang diikuti dengan kata hakikinya, akan terlihat lebih panjang dan
kurang efektif serta kurang enak untuk dibaca atau diperdengarkan. Seperti
berikut ini.
كتاب
انزلنا ه
اليك لتخرج الناس من الضلالة كالظلامات الي الهدى كالنور
Oleh karena itu, akan terasa lebih indah untuk dibaca dan
maknanya lebih dalam jika kata hakikinya (musyabbahnya) dibuang dan
hanya ditampakkan kata majazinya (musyabbah bihnya).
Begitu pula dengan isti’arah makniyyah. Seperti
contoh berikut.
وإِذَا
المَنِيَّةُ أَنْشبتْ أَظفارَها :: أَلْفَيْتَ أنّ كل تَميمةٍ لا تَنْفَعُ
Sebagaimana pada contoh isti’arah
tashrihiyyah sebelumnya, pada contoh isti’arah makniyyah juga akan
terasa biasa-biasanya saja jika tidak ada kata-kata kiasannya dalam suatu
kalimat. Oleh karena dalam isti’arah makniyyah menyerupakan benda mati
dengan benda hidup, maka yang ditampakkan ialah musyabbahnya bukan musyabbah
bihnya. Kemudian untuk menggantikan musyabbah bih yang dibuang maka
ditampakkan sifat khasnya yang biasanya berupa kata kerja (fi’il),
sehingga musyabbah yang semulanya benda mati akan terasa hidup setelah
digabungkan dengan sifat khas dari musyabbah bih. Bila musyabbah
bihnya tidak dibuang maka kalimatnya akan terasa kurang efisien dan kurang
enak untuk dibaca atau didengar serta dapat menghilangkan keindahan rasa dari
kalimat tersebut. Sehingga tidak boleh menampakkan musyabbah dan
musyabbah bih secara bersamaan di dalam kalimat seperti contoh berikut.
وإِذَا
المَنِيَّةُ كالسبع أَنْشبتْ أَظفارَها :: أَلْفَيْتَ أنّ كل تَميمةٍ لا تَنْفَعُ
IV.
KESIMPULAN
Dari
pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa isti’arah tashrihiyyah ialah isti’arah
yang musyabbah bih-nya disebutkan dengan jelas di dalam kalimat.
Sedangkan isti’arah makniyyah ialah isti’arah yang musyabbah
bih-nya tidak disebutkan dan sebagai gantinya disebutkan sifat-sifat atau
kekhasan atau kebiasaan yang ada padannya.
Perbedaan
diantara keduanya ialah:
1.
Isti’arah
tashrihiyyah dalam pola
kalimatnya menyebutkan musyabbah bih-nya dengan jelas dan tegas, sedangkan
isti’arah makkniyyah tidak menyebutkannya dengan jelas.
2.
Dalam
isti’arah makniyyah diperlukan adanya suatu kata yang menggantikan musyabbah
bih-nya berupa sifat-sifat atau kekhasan atau kebiasaan yang ada padannya,
sementara isti’arah tashrihiyyah tidak diperlukan.
3.
Dalam
kalimat isti’arah tashrihiyyah yang dibuang adalah musyabbah-nya,
sedangkan dalam kalimat isti’arah makniyyah yang dibuang ialah musyabbah
bih-nya yang kemudian diganti dengan sifat-sifat
atau kekhasan atau kebiasaan yang ada padanya.
Alasan
dari pemakaian isti’arah tashrihiyyah dan isti’arah makniyyah adalah untuk efektivitas
kalimat. Selain itu juga untuk memperindah uslub suatu kalimat dan
mendalamkan makna yang terkandung di dalamnya sehingga bisa membuat mukhotob
terkagum-kagum.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi siapa saja yang
membacanya. Tentulah penulis menyadari akan kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi
perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Fadlol
Hasan, Al-Balaghah Fununuha Wa Afnanuha, ‘Aman: Dar Al-Furqon, 1987.
Al-Jarimi, Ali
dan Musthofa Amin, Al-Balaghah Al-Wadhihah, Dar Al-Ma’arif,
1999.
_____________________________,
Al-Balaghah Al-Wadhihah, terj, Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2010.
Al-Maidani, Abdurrahman Hasan, Al-Balaghah Al-Arabiyah Ususuha
Wa ‘Ulumuha Wa Fununuha, Damaskus: Dar Al-Qolam, 1997.
Al-Qazwini, Al-Khatib, Al-Idhoh Fi ‘Ulum Al-Balaghah Al-Ma’ani Wa Al-Bayan Wa Al-Badi’, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010.
Idris, Mardjoko, Ilmu Balaghah Antara Al-Bayan dan Al-Badi’, Yogyakarta:
Penerbit Teras, 2007.
[1] Al-Khatib
al-Qazwini, Al-Idhoh Fi ‘Ulum Al-Balaghah Al-Ma’ani Wa Al-Bayan Wa Al-Badi’, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010), hlm. 212.
[2] Ali Al-Jarimi
dan Musthofa Amin, Al-Balaghah Al-Wadhihah, (Dar Al-Ma’arif,
1999), hlm. 77.
[3]
Abdurrahman Hasan Al-Maidani, Al-Balaghah Al-Arabiyah Ususuha Wa ‘Ulumuha
Wa Fununuha, (Damaskus: Dar Al-Qolam, 1997), hlm. 242.
[4] Mardjoko
Idris, Ilmu Balaghah Antara Al-Bayan dan Al-Badi’, (Yogyakarta: Penerbit
Teras, 2007), hlm. 37-38.
[5] Abdurrahman Hasan
Al-Maidani, Op. Cit., hlm. 249.
[6] Ali Al-Jarimi
dan Musthofa Amin, Op. Cit., hlm.
75-76.
[7] Ibid,
hlm. 77.
[8] Abdurrahman Hasan
Al-Maidani, Op. Cit., hlm. 243.
[9] Fadlol Hasan
Abbas, Al-Balaghah Fununuha Wa Afnanuha, (‘Aman: Dar Al-Furqon, 1987),
hlm. 173.
[10] Ali Al-Jarimi
dan Musthofa Amin, Op. Cit., hlm.
75-76.
[11] Fadlol Hasan
Abbas, Op. Cit., hlm. 174.
Terima kasih atas ilmu... sangat bermanfaat. sedang mencari maksud تطلعت عيون الفضل لك ، وأصغت آذان المجد إليك
BalasHapus