Selasa, 14 Mei 2013

Balaghah



الإستعارة التصريحية و المكنية


I. PENDAHULUAN
Menurut catatan sejarah, pada mulanya ilmu balaghah tidak diperinci menjadi beberapa bagian melainkan dicampurbaurkan antara yang satu dengan yang lainnya. Kemudian barulah dipilah-pilah kedalam beberapa bagian pada masa As-Sakaki.
Semenjak itulah sampai sekarang, ilmu balaghah mencakup tiga bagian di dalamnya, yaitu: ilmu ma’ani, ilmu bayan dan ilmu badi’. Dalam pembahasan ilmu bayan terbagi ke dalam beberapa bagian yang salah satunya yaitu tentang Majaz dan itupun terbagi lagi menjadi majaz lughawi dan aqly. Salah satu kajian dalam majaz lughawi yaitu:
الاستعارة، و هي ما كانت علاقته تشبيه معناه بما وضع له.[1]
Dan dapat dipahami secara sederhana sebagai gaya bahasa tasybih yang dibuang salah satu dari musyabbah dan musyabbah bih-nya, serta hubungan antara makna hakiki dan makna majazinya yaitu hubungan langsung.
Dalam pembahasan isti’arah terdapat beberapa kategori yang salah satu akan penulis paparkan lebih lanjut dalam makalah ini yaitu kategori isti’arah berdasarkan penyebutan musyabbah dan musyabbah bih-nya yakni isti’arah tashrihiyyah dan makniyyah.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Isti’arah Tashrihiyyah
B.     Isti’arah Makniyyah
C.     Perbedaan antara Isti’arah Tashrihiyyah dan Isti’arah Makniyyah
D.    Alasan Pemakaian Isti’arah Tashrihiyyah dan Isti’arah Makniyyah

III.   PEMBAHASAN
A.    Isti’arah Tashrihiyyah
1.    Pengertian
Menurut Ali al-Jarim dan Musthafa Amin dalam bukunya Al-Balâghatul Wâdhihah menyebutkan bahwa Isti’arah Tashrihiyyah adalah:
ما صُرِّحَ فِيْها بلفظ المشبّه به
Isti’arah yang musyabbah bih-nya ditegaskan[2]
Dalam bukunya Abdurrahman  Hasan Al-Maidani yang berjudul Al-Balaghah Al-Arabiyah Ususuha Wa Ulumuha Wa Fununuha mendefinisikan Isti’arah Tashrihiyyah adalah:
هي التي يُصرّح فيها بذات اللفظ المستعار[3]
Isti’arah yang diperjelas dengan lafadz musta’arnya sendiri.
Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa Isti’arah Tashrihiyyah  ialah isti’arah yang musyabbah bih-nya disebutkan dengan jelas di dalam kalimat.

2.    Contoh-Contoh:
a.    Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surat Ibrahim ayat 1:
كتاب أنزلناه إليك لتخرج النّاس من الظلمات إلي النور
 (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang.......

Pada contoh di atas lafadz majazinya adalah الظلمات (kegelapan) danالنور  (cahaya). Benarkah Al-Quran dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan ke alam yang terang benderang? Tentu tidak, karena yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman-Nya adalah bukan makna hakiki, melainkan makna majazi-nya yaitu الضلالة (kesesatan) dan الهدى (petunjuk). Pada ayat tersebut, Allah SWT menyembunyikan musyabbah-nya dan dinampakkan musyabbah bih-nya dengan jelas.[4]

b.    Al-Mutanabbi berkata ketika ia disambut dan dirangkul oleh orang yang dipujinya:
فَلَمْ أَرَ قَبْلِى مَنْ مَشَى الْبَحْرُ نَحْوَهُ :: وَلاَ رَجُلاً قَامَتْ تُعَانِقُهُ الأُسْدُ
Tidak pernah aku lihat sebelumku orang yang didatangi oleh laut dengan berjalan kaki, dan tidak juga orang yang dirangkul oleh singa.

Pada bait Al-Mutanabbi di atas mencakup dua kata majazi yaitu  الْبَحْرُ (laut) dan الأُسْدُ (singa). Kata الْبَحْرُ diisyaratkan dengan kedermawanan seseorang sedangkan kata الأُسْدُ diisyaratkan dengan keberanian seseorang yang diserupakan dengan keberanian sesosok singa.[5]

c.    Ia berkata dalam memuji Saifud-Daulah:
أَمَا تَرَى ظَفَرًا حُلْوًا سِوَى ظَفَرٍ :: تَصَافَحَتْ فِيْهِ بِيْضُ الْهِنْدِ وِاللِّمَم؟
Apakah kamu tahu suatu kemenangan yang paling indah selain kemenangan yang di dalamnya saling berjabat tangan antara pedang dan kepala?

Pada bait tersebut terdapat satu kata majazi yakni تَصَافَحَتْ (berjabat tangan) diserupakan dengan bertemu atau berjumpa atau bersua.[6]

B.     Isti’arah Makniyyah
1.    Pengertian
Menurut Ali al-Jarim dan Musthafa Amin dalam bukunya Al-Balâghatul Wâdhihah menyebutkan bahwa Isti’arah Makniyyah adalah:
ما حُذِفَ فيها المشبّهُ به و رُمِزَ له بشيءٍ مِن لوازمه
Isti’arah yang dibuang musyabbah bih-nya, dan sebagai isyarat ditetapkan salah satu sifat khasnya.[7]
Dalam bukunya Abdurrahman  Hasan Al-Maidani yang berjudul Al-Balaghah Al-Arabiyah Ususuha Wa ‘Ulumuha Wa Fununuha mendefinisikan Isti’arah Makniyyah adalah:
هي التي لم يصرّح فيها باللفظ المستعار[8]
Isti’arah yang tidak diperjelas dengan lafadz musta’arnya sendiri.
Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa Isti’arah Makniyyah ialah isti’arah yang musyabbah bih-nya tidak disebutkan dan sebagai gantinya disebutkan sifat-sifat atau kekhasan atau kebiasaan yang ada padannya.

2.    Contoh-Contoh:
a.    Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surat An-Nahl ayat 91:
وأوفوا بعهد الله إذا عاهدتم ولا تنفقوا الأيمان بعد توكيدها وقد جعلتم الله عليكم كفيلا، إن الله يعلم ما تفعلون
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Di dalam ayat tersebut, Allah menggunakan kata تنقضوا (memisahkan) yang disandarkan pada kata الأيمان, padahal kata تنقضوا tersebut dipakai untuk suatu benda yang nyata. Namun, Allah menyerupakan kata الأيمان dengan kata الحِبال (tali), sehingga dalam kalam-Nya tersebut menggunakan kata تنقضوا sebagai sifat khas dari musyabbah bih yang dibuang.[9]

b.    Al-Hajjaj menyatakan dalam salah satu pidatonya:
إِنِّي لَأَرَى رُؤُوسًا قَدْ أَيْنَعَتْ وَحَانَ قِطَافُهَا وَإِنِّي لَصَاحِبُهَا
Sesungguhnya aku melihat beberapa kepala yang telah masak dan telah sampai waktu panennya dan saya adalah pemiliknya.

Dalam pidatonya, Al-Hajjaj menyerupakan kepala dengan rupakantemu atau berjumpa atau bersua.___________________________________________________________________________buah-buahan. Sebagai isyarat bagi musyabbah bih yang dibuang dan ditetapkan kata yang menunjukkan sifatnya yang khas, yaitu kata أَيْنَعَتْ (masak).[10]

c.    Seorang penyair berkata:
وإِذَا المَنِيَّةُ أَنْشبتْ أَظفارَها :: أَلْفَيْتَ أنّ كل تَميمةٍ لا تَنْفَعُ
Jika kematian telah mencengkeramkan kuku-kukunya Engkau akan mengetahui bahwa segala azimat itu tidak akan ada manfaatnya.

Pada bait tersebut sang penyair menyerupakan kata المنيّة (kematian) dengan kata السبع (seekor hewan predator). Sebagai isyarat dibuangnya musyabbah bih, maka digantikan dengan sifat yang khas darinya yaitu dengan kata الأَظفار (kuku). Karena biasanya seekor hewan predator memiliki kuku-kuku yang tajam untuk mencengkeram mangsanya begitu pula ketika seorang penyair menyerupakan kematian dengan predator tersebut sebab tidak ada seorang pun yang bisa menghindar dari kematian.[11]

C.    Perbedaan antara Isti’arah Tashrihiyyah dan Isti’arah Makniyyah
Perbedaan antara kedua macam isti’arah tersebut terlihat jelas dari definisinya masing-masing. Dan hal itupun sesuai dengan pengklasifikasian isti’arah-nya juga.
 Perbedaannya yaitu antara lain:
1.    Isti’arah tashrihiyyah dalam pola kalimatnya menyebutkan musyabbah bih-nya dengan jelas dan tegas, sedangkan isti’arah makkniyyah tidak menyebutkannya dengan jelas.
2.    Dalam isti’arah makniyyah diperlukan adanya suatu kata yang menggantikan musyabbah bih-nya yaitu berupa sifat-sifat atau kekhasan atau kebiasaan yang ada padannya, sementara isti’arah tashrihiyyah tidak diperlukan.
3.    Dalam kalimat isti’arah tashrihiyyah yang dibuang adalah musyabbah-nya, sedangkan dalam kalimat isti’arah makniyyah yang dibuang ialah musyabbah bih-nya yang kemudian diganti dengan egala azimat itu tidak akan ada manfaatnya._______________________________________________________sifat-sifat atau kekhasan atau kebiasaan yang ada padanya.



D.    Alasan Pemakaian Isti’arah Tashrihiyyah dan Isti’arah Makniyyah
Istilah isti’arah tashrihiyyah dalam bahasa indonesia dikenal dengan sebutan majas metafora. Sedangkan istilah  asa indonesia dikenal dengan sebutan majas metafora.___________________________________________________________________isti’arah makniyyah dikenal dengan sebutan majas personifikasi. Keduanya memakai bahasa kiasan atau majazi yang mana diserupakan dengan suatu benda yang memiliki kesamaan dengannya ataupun menyerupakan benda mati dengan benda hidup. Alasan dari pemakaian kedua majas tersebut ialah untuk efektivitas kalimat, memperindah uslub kalimat dan mendalamkan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan pemakaian majas tersebut juga dapat menyampaikan perasaan hati yang begitu dalam yang mana bila tetap menggunakan kata-kata hakikinya, maksud dari kalimat atau ucapan yang diinginkan tidak tercapai. Seperti contoh berikut.
Isti’arah Tashrihiyyah:
كتاب أنزلناه إليك لتخرج النّاس من الظلمات إلي النور

bila ayat tersebut menggunakan kata hakikinya maka menjadi,
كتاب أنزلناه إليك لتخرج النّاس من الضلالة الي الهدى
Ayat yang memakai kata majazi dengan yang memakai kata hakiki akan terasa beda bila diresapi. Ayat yang memakai kata majazi akan terasa lebih agung dan maknanya bisa meresap ke dalam kalbu. Selain itu, kata الظلامات juga bisa dimaknai dengan hal lain yang bermakna buruk. Begitu pula dengan kata النور bisa juga dimaknai dengan hal lain yang bermakna baik. Namun jika tetap memakai kata majazi yang diikuti dengan kata hakikinya, akan terlihat lebih panjang dan kurang efektif serta kurang enak untuk dibaca atau diperdengarkan. Seperti berikut ini.
كتاب انزلناt ini.dibaca.____________________________________________________________________________________________________________ه اليك لتخرج الناس من الضلالة كالظلامات الي الهدى كالنور
Oleh karena itu, akan terasa lebih indah untuk dibaca dan maknanya lebih dalam jika kata hakikinya (musyabbahnya) dibuang dan hanya ditampakkan kata majazinya (musyabbah bihnya).
Begitu pula dengan isti’arah makniyyah. Seperti contoh berikut.
وإِذَا المَنِيَّةُ أَنْشبتْ أَظفارَها :: أَلْفَيْتَ أنّ كل تَميمةٍ لا تَنْفَعُ
                        Sebagaimana pada contoh isti’arah tashrihiyyah sebelumnya, pada contoh isti’arah makniyyah juga akan terasa biasa-biasanya saja jika tidak ada kata-kata kiasannya dalam suatu kalimat. Oleh karena dalam isti’arah makniyyah menyerupakan benda mati dengan benda hidup, maka yang ditampakkan ialah musyabbahnya bukan musyabbah bihnya. Kemudian untuk menggantikan musyabbah bih yang dibuang maka ditampakkan sifat khasnya yang biasanya berupa kata kerja (fi’il), sehingga musyabbah yang semulanya benda mati akan terasa hidup setelah digabungkan dengan sifat khas dari musyabbah bih. Bila musyabbah bihnya tidak dibuang maka kalimatnya akan terasa kurang efisien dan kurang enak untuk dibaca atau didengar serta dapat menghilangkan keindahan rasa dari kalimat tersebut. Sehingga tidak boleh menampakkan musyabbah dan musyabbah bih secara bersamaan di dalam kalimat seperti contoh berikut.

وإِذَا المَنِيَّةُ كالسبع أَنْشبتْ أَظفارَها :: أَلْفَيْتَ أنّ كل تَميمةٍ لا تَنْفَعُ
IV.   KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa isti’arah tashrihiyyah ialah isti’arah yang musyabbah bih-nya disebutkan dengan jelas di dalam kalimat. Sedangkan isti’arah makniyyah ialah isti’arah yang musyabbah bih-nya tidak disebutkan dan sebagai gantinya disebutkan sifat-sifat atau kekhasan atau kebiasaan yang ada padannya.
Perbedaan diantara keduanya ialah:
1.    Isti’arah tashrihiyyah dalam pola kalimatnya menyebutkan musyabbah bih-nya dengan jelas dan tegas, sedangkan isti’arah makkniyyah tidak menyebutkannya dengan jelas.
2.    Dalam isti’arah makniyyah diperlukan adanya suatu kata yang menggantikan musyabbah bih-nya berupa sifat-sifat atau kekhasan atau kebiasaan yang ada padannya, sementara isti’arah tashrihiyyah tidak diperlukan.
3.    Dalam kalimat isti’arah tashrihiyyah yang dibuang adalah musyabbah-nya, sedangkan dalam kalimat isti’arah makniyyah yang dibuang ialah musyabbah bih-nya yang kemudian diganti dengan egala azimat itu tidak akan ada manfaatnya._______________________________________________________sifat-sifat atau kekhasan atau kebiasaan yang ada padanya.
Alasan dari pemakaian isti’arah tashrihiyyah dan  isti’arah makniyyah adalah untuk efektivitas kalimat. Selain itu juga untuk memperindah uslub suatu kalimat dan mendalamkan makna yang terkandung di dalamnya sehingga bisa membuat mukhotob terkagum-kagum.

V.      PENUTUP
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi siapa saja yang membacanya. Tentulah penulis menyadari akan kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Fadlol Hasan, Al-Balaghah Fununuha Wa Afnanuha, ‘Aman: Dar Al-Furqon, 1987.

Al-Jarimi, Ali dan  Musthofa Amin,  Al-Balaghah Al-Wadhihah, Dar Al-Ma’arif, 1999.

_____________________________,  Al-Balaghah Al-Wadhihah, terj,  Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.

Al-Maidani, Abdurrahman Hasan, Al-Balaghah Al-Arabiyah Ususuha Wa ‘Ulumuha Wa Fununuha, Damaskus: Dar Al-Qolam, 1997.

Al-Qazwini, Al-Khatib, Al-Idhoh Fi ‘Ulum Al-Balaghah  Al-Ma’ani Wa Al-Bayan Wa Al-Badi’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010.

Idris, Mardjoko, Ilmu Balaghah Antara Al-Bayan dan Al-Badi’, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2007.




[1] Al-Khatib al-Qazwini, Al-Idhoh Fi ‘Ulum Al-Balaghah  Al-Ma’ani Wa Al-Bayan Wa Al-Badi’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010), hlm. 212.
[2] Ali Al-Jarimi dan  Musthofa Amin,  Al-Balaghah Al-Wadhihah, (Dar Al-Ma’arif, 1999), hlm. 77.
[3] Abdurrahman  Hasan Al-Maidani,  Al-Balaghah Al-Arabiyah Ususuha Wa ‘Ulumuha Wa Fununuha, (Damaskus: Dar Al-Qolam, 1997), hlm. 242.
[4] Mardjoko Idris, Ilmu Balaghah Antara Al-Bayan dan Al-Badi’, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2007), hlm. 37-38.
[5] Abdurrahman Hasan Al-Maidani, Op. Cit., hlm. 249.
[6] Ali Al-Jarimi dan  Musthofa Amin, Op. Cit., hlm. 75-76.
[7] Ibid, hlm. 77.
[8] Abdurrahman Hasan Al-Maidani,  Op. Cit., hlm. 243.
[9] Fadlol Hasan Abbas, Al-Balaghah Fununuha Wa Afnanuha, (‘Aman: Dar Al-Furqon, 1987), hlm. 173.
[10] Ali Al-Jarimi dan  Musthofa Amin, Op. Cit., hlm. 75-76.
[11] Fadlol Hasan Abbas, Op. Cit., hlm. 174.

1 komentar:

  1. Terima kasih atas ilmu... sangat bermanfaat. sedang mencari maksud تطلعت عيون الفضل لك ، وأصغت آذان المجد إليك

    BalasHapus