Hidup tanpa cinta bagai bumi tanpa mentari.
Cinta identik dengan sepasang muda mudi yang tengah dimabuk asmara. Apakah itu cinta
suci? Banyak orang yang terjebak oleh cinta. Sejatinya cinta suci adalah cintanya
seorang ibu kepada anaknya. Dia mencintainya dengan sepenuh hati. Tak ada
imbalan yang diharapkannya.
Bagiku, ibu adalah my hero. Tanpa
jasanya mustahil aku dapat menikmati indahnya dunia. Kasih sayang yang
diberikannya begitu tulus. Gunung emaspun tak mampu membalas jasa-jasanya. Tak bisa
aku bayangkan jika ibu tak lagi di sampingku. Hidup ini akan terasa semu.
Awalnya, aku lebih mencintai ayah karena aku
lebih dekat dengannya. Saking dekatnya, aku ingin selalu bersamanya. Namun,
setelah aku menginjak remaja, ibu menasehatiku untuk merubah sikap manjaku dan
lebih menjaga jarak dengan ayah. Ibu selalu berkata, “ Kamu sudah gede
Rul”.
Amarah sempat singgah di relung hatiku. Namun, itu dapat diredam dengan
informasi yang aku peroleh. Jika seorang wanita telah baligh, jaga jaraklah dengan
seorang lelaki meskipun itu adalah ayahmu sekalipun. Karena dikhawatirakan akan
terjadi hal yang tidak diinginkan menimpamu. Banyak kejadian, seorang ayah tega
menggauli anaknya sendiri. Semenjak itu aku tersadar akan perhatiannya
terhadapku. Ingin rasanya segera bertemu dengannya dan meminta maaf kepadanya. Sepulang
sekolah aku hendak membantu ibu di dapur karena di
rumah ada acara tahlilan. Kulihat banyak orang yang menjejali dapur. Apa yang
hendak aku lakukan? Semua pekerjaan telah tertangani. Akupun hanya berdiri
mematung di depan pintu dapur. Nampak seseorang
hendak melewati pintu dapur. Tanpa diperintah aku merebut nampan besar di
tangannya. Kurang siapnya tanganku menerima nampan tersebut, mengakibatkan
nampan itu terjatuh ke lantai. Osengan mie yang siap untuk dibungkus,
berhamburan ke lantai.
Ibu sangat marah terhadapku. Akupun langsung
mengurung diri di kamar. Seusai acara tersebut, ibu menghampiriku.
“Makan dulu Rul. Nanti kamu sakit”. Ibu
terlihat sangat menyesal telah memarahiku. Aku hanya menggelengkan kepala. Tak
kusadari Ibu telah meninggalkanku sendiri di kamar. Hatiku semakin kecewa
kepadanya. Setelah tubuh ini terasa lelah di kasur, aku segera bangkit.
Terlihat sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk kesukaanku. Senyum kecilkupun
terkembang manis.
Meskipun kekecewaan sering mengendap dalam
diriku, namun aku selalu merasakan kerinduan saat jauh darinya. Seperti saat ibu
pergi ke Kalimantan untuk menambah penghasilan keluarga. Karena penghasilan
ayah yang hanya seorang petani tak cukup lagi untuk memenuhinya. Namun semenjak
kepergiannya, rumah kurang terurus. Makanpun kurang teratur. Mendengar hal itu,
ibu kembali ke rumah. Kedatangannya bagai mendapat durian runtuh. Hati ini
begitu senang. Aku ingin selalu berada di sampingnya. Namun harapan terkadang
berbeda dengan kenyataan. Setelah lulus SMA, aku melanjutkan kuliah di Semarang.
Semula ibu dan ayah tidak mengijinkanku untuk kuliah di sana. Namun dengan
obrolan panjang, aku menjelaskan cita-citaku yang ingin merasakan jadi anak
kuliahan. Dengan berat hati mereka mengijinkanku.
“ Jaga diri baik-baik Rul. Jangan macem-macem
di sana. Cari teman yang baik. Jangan mudah dirayu laki-laki …..bla bla bla….”.
Ibu menasehatiku panjang lebar dan mendekapku erat. Apakah itu bentuk dari
kasih sayangnya terhadapku? Ah lagi-lagi aku tak bisa memahaminya.
Kini aku telah jauh dari ibu. Hati ini begitu
rindu dengannya. Aku tak bisa makan masakannya lagi. Aku harus mencari makan
sendiri. Tetapi, lama kelamaan akupun terbiasa dengan hidupku yang baru dan
seorang pacarpun telah aku dapatkan. Namun aku belum mendeklarasikannya kepada
ibu. Hati ini tidak tenang dengan semua yang telah aku lakukan dengan pacarku.
Terkadang telepon sampai berjam-jam. Smsan sampai menghabiskan pulsa dan
sebagainya. Dengan tangan gemetar aku mengambil hand phone milikku dan
menelepon ibu. Kamipun berbicara panjang lebar. Sampai akhirnya, aku
mengutarakan maksud dan tujuanku meneleponnya.
“Jangan sembarangan pacaran Rul. Ibu kurang
setuju dengan pilihanmu. Dia hanya tamatan SMP. Bagaimana masa depanmu kelak?
Akankah kalian dapat saling melengkapi dan mengimbangi ataukah sebaliknya?
Pikirkan matang-matang Rul. Ibu tidak mau kamu menyesal nantinya.” Ibu menutup teleponku. Entah kenapa hati ini
seakan berkata “ Putuskan saja Rul!” Tanpa
keraguan akupun memutuskan lelaki yang telah mewarnai hidupku.
Hari demi hari kujalani dengan penuh kepayahan.
Kehampaan merasuki diri. Kenapa aku memutuskannya? Aku begitu mencintainya.
Kenapa ibu tidak setuju dengan pilihanku? Deringan hand phone milikku
mengagetkanku. Sebuah sms dari nomor tak dikenal. “Aku temannya mantanmu yang
baru kamu putusin kemarin. Setelah putus darimu dia sangat memperhatikanku. Aku
rasa dia menyukaiku. Terima kasih ya kamu sudah mengirimnya untukku”. Tak
terasa air bening telah mengucur deras. Ibu aku sangat merindukanmu. Ibu benar.
Aku telah salah memilih pasangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar