Lama tak merasakan peluk kasihnya.
Genap dua tahun mas Herlambang pergi dan tak kunjung kembali. Hanya sepucuk
surat yang berlabelkan “cinta kamu selamanya” dititipakannya pada ibuku. Tanpa
bersua memadu perpisahan sepasang kekasih yang kan terbelenggu dalam ikatan
rindu. Dengan dalih menjalankan tugasnya di Papua sebagai suka relawan peredam
bentrok yang sering menghiasi pulau yang jarang terjamah tersebut, ia
meninggalkanku.
“Sri, inget umurmu semakin bertambah
Nduk. Apa kamu akan tetap menunggunya?” sapa ibu langsung membuyarkan
anganku yang kurajut dalam kelemahan jiwa. Kertas yang semula berpangku di
tanganku spontan pindah ke tangan ibu.
“Eh ibu.....” akupun merajuk manja
pada ibu.
“Kemarin ada pemuda yang menanyakan
kamu Nduk. Ibu cuman nyuruh dia untuk ketemu langsung sama kamu. Soalnya
ibu kasihan sama kamu Nduk. Kerjaannya ngelamun terus.” Ibu semakin
mendekapku erat.
“Emang kapan kesininya Bu?”
“Nanti dia kesini Nduk. Kamu
siap-siap ya.”
“Bu..... tapi apa aku gak.........”
“ Udah dandan yang cantik aja. Ibu
mau bikin makanannya.”
Dengan langkah ragu diri ini mencoba
merias wajah yang telah mengeriput seiring dengan penantian yang belum jua
berujung. Tak selang lama suara gagah memenuhi ruang huniku dan menarik raga
ini tuk segera menyambanginya.
“Oh, Nak Heru, silahkan masuk!”
Suara yang terdengar sayup-sayup
membuatku semakin gugup. Ingin rasanya mata ini segera beradu pandang dengan
matanya.
“Sri, kesini Nduk!”
Mendengar ibu memanggilku, segera
aku mendekati mereka. Dengan segala kegugupan yang tiba-tiba menyergapku, aku
pelan-pelan melangkahkan kaki ini.
“Monggo unjukkanipun mas.”
Kedua mata kami saling beradu. Ada rasa cinta kasih terpancar dari bola
matanya. Kecanggungan pun menyelimuti kami. Aku segera mengambil posisi di
samping ibu.
“Iya terimakasih Sri.” Suara
lembutnya menggetarkan hatiku. Aku hanya menunduk dan mengangguk pelan. Tak ada
keberanian mata ini untuk selalu menatapnya.
“Emmm langsung Bu, Sri..... maksud
kedatangan saya kesini tidak lain hanyalah meminta Sri untuk jadi pelipur hatiku
dan sekaligus meminta restu Ibu. Bagaimana Sri, apakah kamu bersedia?”
“A....Aku.....”
“Kalo Ibu sih setuju-setuju aja nak
Heru, tinggal Sri-nya aja gimana. Mungkin akan lebih baik nak Heru
kasih waktu untuk Sri agar bisa lebih mengenal Nak Heru. Bagaimana Heru,
Sri?”
“Oh, iya Bu..... saya setuju”
“Aku juga setuju Bu....”
***
Semenjak perjanjian itu tersetujui
olehku dan olehnya, kami pun saling memberi waktu untuk bersama dan saling
mengenal satu sama lain. Ketiadaan Ayah dan kekasihku yang telah lama
menghilang telah sedikit terobati oleh kehadirannya. Kasih sayang selalu ia curahkan
kepadaku. Beberapa kali kami menghabiskan waktu bersama berwisata keliling
Semarang. Tak jarang juga membelikanku gaun yang menjuntai menutup indah tubuh
ini. Dan akhirnya ditetapkanlah tanggal lamaran yang menjadi pintu gerbang
pernikahan kami.
***
“Wah selamat ya Sri, akhirnya ketemu
jodohmu.” Ucap tetanggaku menangis haru. Ibupun tak hentinya menangis haru
memandangiku. Pasalnya karena selain anak semata wayang, juga karena umurku
yang sudah hampir mencapai kepala tiga.
Para tetangga berkumpul memenuhi
ruang tamu hunianku. Hidangan ala kadarnyapun telah tertata rapi di belakang. Aku merasa sangat beruntung ada pemuda sekaya
Heru bersedia hidup denganku yang sangat jauh strata sosialnya. Katanya ia
memang sudah memendam rasa cintanya padaku semenjak duduk dibangku sekolah
dasar. Dan iapun sengaja menuakan umurnya hanya untuk memperoleh restu dari
kedua orang tuanya. Tentunya dengan dalih tidak ada lagi yang mau menikah
dengannya kecuali aku.
“Assalamualaikum.....”
“Wa’alaikumsalam.....” semua
menyambut kedatangan keluarga mas Heru dengan penuh rasa haru.
Prosesi penyematan cincin pun telah
terlaksana. Rasa cinta suciku perlahan mulai memenuhi kalbuku. Aku baru merasakan
kebahagiaan yang hakiki dan akhirnya aku bisa membalas cintanya yang begitu
dalam terhadapku. Tak henti-hentinya mata kami saling beradu pandang.
Waktu seakan berjalan begitu
cepatnya. Dan tibalah waktunya bagi raga tuk saling berpisah namun hati kami
semakin dekat dan menyatu.
“Sri..... kamu......”
Semua pasang mata mengarah pada
sesosok pemilik suara itu, tak terkecuali aku. Mata ini terbelalak mendapati
mas Herlambang tengah berdiri di ambang pintu rumahku. Dengan muka garangnya ia
terus menatapku tajam. Tubuh ini gugup tanpa kendali. Mas Heru memegang
tanganku erat, mencoba untuk mengusir kegelisahanku. Masih lengkap dengan
seragam tentaranya, mas Herlambang perlahan mendekati kami.
“Mas gak nyangka kamu akan
mengkhianatiku Sri.”
“A.....Aku.... gak.....”
“Berani-beraninya kamu merebut Sri
dariku. Enyah kau dari hadapanku.”
Semua orang panik melihat keadaan
ini. Ibu tak henti-hentinya beristighfar sambil mengelus dada.
Aku yang menyadari tangan kekarnya mengambil pistol di celananya, segera aku
mendekap mas Heru erat. Seperti dugaanku, ia mengarahkan pistolnya ke mas Heru.
Spontan peluru itu melaju kencang dan bersarang tepat di jantungku. Aku hanya
tersenyum pada mas Heru sebagai salam perpisahanku dengannya. Suara tangis
diiringi teriakan histeris mas Heru dan Ibu serta orang-orang yang
mengerumuniku terdengar sayup-sayup dan akhirnya lenyap bersama dengan jiwaku
yang tak lagi bisa mengisi ragaku.
Semarang, 16
April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar