Kamis, 18 April 2013

Cinta bersemi ketika ia kembali-CERPEN





            Lama tak merasakan peluk kasihnya. Genap dua tahun mas Herlambang pergi dan tak kunjung kembali. Hanya sepucuk surat yang berlabelkan “cinta kamu selamanya” dititipakannya pada ibuku. Tanpa bersua memadu perpisahan sepasang kekasih yang kan terbelenggu dalam ikatan rindu. Dengan dalih menjalankan tugasnya di Papua sebagai suka relawan peredam bentrok yang sering menghiasi pulau yang jarang terjamah tersebut, ia meninggalkanku.
            “Sri, inget umurmu semakin bertambah Nduk. Apa kamu akan tetap menunggunya?” sapa ibu langsung membuyarkan anganku yang kurajut dalam kelemahan jiwa. Kertas yang semula berpangku di tanganku spontan pindah ke tangan ibu.
            “Eh ibu.....” akupun merajuk manja pada ibu.
            “Kemarin ada pemuda yang menanyakan kamu Nduk. Ibu cuman nyuruh dia untuk ketemu langsung sama kamu. Soalnya ibu kasihan sama kamu Nduk. Kerjaannya ngelamun terus.” Ibu semakin mendekapku erat.

            “Emang kapan kesininya Bu?”
            “Nanti dia kesini Nduk. Kamu siap-siap ya.
            “Bu..... tapi apa aku gak.........”
            “ Udah dandan yang cantik aja. Ibu mau bikin makanannya.”
            Dengan langkah ragu diri ini mencoba merias wajah yang telah mengeriput seiring dengan penantian yang belum jua berujung. Tak selang lama suara gagah memenuhi ruang huniku dan menarik raga ini tuk segera menyambanginya.
            “Oh, Nak Heru, silahkan masuk!”
            Suara yang terdengar sayup-sayup membuatku semakin gugup. Ingin rasanya mata ini segera beradu pandang dengan matanya.
            “Sri, kesini Nduk!”
            Mendengar ibu memanggilku, segera aku mendekati mereka. Dengan segala kegugupan yang tiba-tiba menyergapku, aku pelan-pelan melangkahkan kaki ini.
            “Monggo unjukkanipun mas.” Kedua mata kami saling beradu. Ada rasa cinta kasih terpancar dari bola matanya. Kecanggungan pun menyelimuti kami. Aku segera mengambil posisi di samping ibu.
            “Iya terimakasih Sri.” Suara lembutnya menggetarkan hatiku. Aku hanya menunduk dan mengangguk pelan. Tak ada keberanian mata ini untuk selalu menatapnya.
            “Emmm langsung Bu, Sri..... maksud kedatangan saya kesini tidak lain hanyalah meminta Sri untuk jadi pelipur hatiku dan sekaligus meminta restu Ibu. Bagaimana Sri, apakah kamu bersedia?”
            “A....Aku.....”
            “Kalo Ibu sih setuju-setuju aja nak Heru, tinggal Sri-nya aja gimana. Mungkin akan lebih baik nak Heru kasih waktu untuk Sri agar bisa lebih mengenal Nak Heru. Bagaimana Heru, Sri?”
            “Oh, iya Bu..... saya setuju”
            “Aku juga setuju Bu....”
                                                                        ***
            Semenjak perjanjian itu tersetujui olehku dan olehnya, kami pun saling memberi waktu untuk bersama dan saling mengenal satu sama lain. Ketiadaan Ayah dan kekasihku yang telah lama menghilang telah sedikit terobati oleh kehadirannya. Kasih sayang selalu ia curahkan kepadaku. Beberapa kali kami menghabiskan waktu bersama berwisata keliling Semarang. Tak jarang juga membelikanku gaun yang menjuntai menutup indah tubuh ini. Dan akhirnya ditetapkanlah tanggal lamaran yang menjadi pintu gerbang pernikahan kami.
                                                            ***
            “Wah selamat ya Sri, akhirnya ketemu jodohmu.” Ucap tetanggaku menangis haru. Ibupun tak hentinya menangis haru memandangiku. Pasalnya karena selain anak semata wayang, juga karena umurku yang sudah hampir mencapai kepala tiga.
            Para tetangga berkumpul memenuhi ruang tamu hunianku. Hidangan ala kadarnyapun telah tertata rapi di belakang.  Aku merasa sangat beruntung ada pemuda sekaya Heru bersedia hidup denganku yang sangat jauh strata sosialnya. Katanya ia memang sudah memendam rasa cintanya padaku semenjak duduk dibangku sekolah dasar. Dan iapun sengaja menuakan umurnya hanya untuk memperoleh restu dari kedua orang tuanya. Tentunya dengan dalih tidak ada lagi yang mau menikah dengannya kecuali aku.
            “Assalamualaikum.....”
            “Wa’alaikumsalam.....” semua menyambut kedatangan keluarga mas Heru dengan penuh rasa haru.
            Prosesi penyematan cincin pun telah terlaksana. Rasa cinta suciku perlahan mulai memenuhi kalbuku. Aku baru merasakan kebahagiaan yang hakiki dan akhirnya aku bisa membalas cintanya yang begitu dalam terhadapku. Tak henti-hentinya mata kami saling beradu pandang.
            Waktu seakan berjalan begitu cepatnya. Dan tibalah waktunya bagi raga tuk saling berpisah namun hati kami semakin dekat dan menyatu.
            “Sri..... kamu......”
            Semua pasang mata mengarah pada sesosok pemilik suara itu, tak terkecuali aku. Mata ini terbelalak mendapati mas Herlambang tengah berdiri di ambang pintu rumahku. Dengan muka garangnya ia terus menatapku tajam. Tubuh ini gugup tanpa kendali. Mas Heru memegang tanganku erat, mencoba untuk mengusir kegelisahanku. Masih lengkap dengan seragam tentaranya, mas Herlambang perlahan mendekati kami.
            “Mas gak nyangka kamu akan mengkhianatiku Sri.”
            “A.....Aku.... gak.....”
            “Berani-beraninya kamu merebut Sri dariku. Enyah kau dari hadapanku.”
            Semua orang panik melihat keadaan ini. Ibu tak henti-hentinya beristighfar sambil mengelus dada. Aku yang menyadari tangan kekarnya mengambil pistol di celananya, segera aku mendekap mas Heru erat. Seperti dugaanku, ia mengarahkan pistolnya ke mas Heru. Spontan peluru itu melaju kencang dan bersarang tepat di jantungku. Aku hanya tersenyum pada mas Heru sebagai salam perpisahanku dengannya. Suara tangis diiringi teriakan histeris mas Heru dan Ibu serta orang-orang yang mengerumuniku terdengar sayup-sayup dan akhirnya lenyap bersama dengan jiwaku yang tak lagi bisa mengisi ragaku.

Semarang, 16 April 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar