Jumat, 16 Maret 2012

Metamorfosa Jiwa


Mata ini begitu berat untuk kubuka. Tubuh ini begitu sulit untuk aku gerakkan. bayang-bayang semu mengitariku. Siapa mereka? Kabut tebal menempel di kedua mataku. Mereka seperti memanggilku. Tetapi siapa mereka? kenapa memanggilku seperti itu?
“ Amira….”, suara itu terdengar parau di telingaku. Dia terus berdengung hingga merasuk ke dalam jiwaku. Mata ini berusaha menajamkan penglihatan. Cahaya. Cahaya itu semakin mendekatiku. Kabut mulai memudar. Wajah-wajah penuh harap mulai terlihat jelas oleh mataku. Ibu tua berbadan gemuk mendekap tubuhku kuat-kuat. Tetesan air bening dari kelopak matanya membasahi piamaku. Aku hanya diam membisu. Tak kuasa mengucapkan sepatah katapun. Bibir ini terus bergetar. Tak kusadari air bening ini menetes. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua menangis?
“ Mbak yang sabar ya…”, tutur lembut bocah kecil di sampingku. Tangannya menggenggam erat tanganku. Aku hanya tersenyum manis kepadanya. Apa yang ada di dalam otaknya? Tutur katanya begitu menyesakkan dada. Otakku masih berpikir keras mengeluarkan semua isi di dalamnya. Kosong. Kenapa ada ruang kosong di sana? Kemana isinya? Memoriku telah hilang. Tepatnya kejadian malam itu. Malam minggu. Lamunanku buyar saat ibu melepaskan dekapannya.
“ Nak, sebaiknya kamu istirahat dulu, jangan berpikir yang neko-neko “, kata wanita tua di sampingku. Akupun menurut apa katanya karena dialah wanita yang berjasa melahirkanku dan bersusah payah membesarkanku. Dengan segala rintangan untuk mendidikku dan juga adik kecilku.
Seharian ini aku hanya terbaring lemah di atas ranjang yang bukan ranjangku. Kata ibu aku tidak boleh bergerak sedikitpun. Tanpa membantah sedikitpun aku menurutinya. Namun lama kelamaan tubuh ini terasa letih terbaring di ranjang terus. Di saat ibu tak ada di sampingku, aku mencoba untuk menggerakkan tubuhku. Sendi-sendi ini terasa kaku dan sakit bila digerakkan tetapi aku tetap nekad untuk duduk.
“ Mbak Mira…”, teriak gadis kecil. Diapun segera membantuku untuk duduk. Tanganku memegang erat si ranjang besi. Dengan sisa tenaga yang aku miliki, tubuh inipun dapat duduk meskipun harus disandarkan pada bantal. Hati ini begitu senang dapat bangkit dari pembaringanku.
“ Terima kasih Dek udah bantuin Mbak”, kataku lembut. Dia hanya tersenyum pilu memandangku. Matanya selalu berair ketika melihatku tersenyum. Matanya seolah menyimpan memoriku yang telah hilang. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Kuperhatikan lekat-lekat tubuh lemahku. Kakiku selalu tertutup rapat oleh selimut hijau. Hati kecilku menginginkan untuk melihatnya. Akupun merabanya satu persatu. Kaki kiriku kemana? Kenapa tanganku tak dapat menyentuhnya? Aku membukanya dengan perlahan. Jantung ini berdegup kencang. Tak biasanya tangan ini gemetar.
“ Dek…apa yang terjadi?”, tanyaku lirih. Tubuh ini terus gemetar.
“ Mbak yang sabar ya…”, suaranya menghilang. Isak tangisnya semakin menyayat hatiku. “ Ka…ki kiri Mbak diamputasi….”, lanjutnya dengan terbata-bata.
Wanita tua yang telah lama memperhatikan kami mendekat dengan langkah gontai. Dia mendekapku erat. Mencium keningku berulang kali. Air bening ini terus mengucur deras tak terbendung. Dia terus berbisik di telingaku. Rupanya sedan merah telah mematahkan tulang kaki kiriku sehingga harus diamputasi. Ingatanku sedikit demi sedikit kembali. Allah telah menegurku. Rasa penyesalan terus membayangiku. Penyesalanku bertambah dalam saat mengetahui pria yang selalu melindungiku sejak kecil dan menggendongku jikalau aku menangis kini telah tiada. Ayah terkena serangan jantung saat melihat kaki kiriku diamputasi. Kini hari-hariku penuh dengan penyesalan. Putaran waktu terasa begitu pelan dan menyayat hatiku.
Genap satu bulan aku menjadi penghuni Rumah Sakit Kariyadi, Semarang dan kini saatnya bagiku menghirup udara luar. Namun, Ibu memboyongku ke rumah nenek di desa. Semua harta telah ludes untuk membayar pengobatanku di rumah sakit. Rumah yang kami tinggali telah terjual. Aku dan adikku terpaksa pindah sekolah ke desa. Ibu begitu tegar menghadapi semua ini. “ Kalianlah semangat ibu”, kata ibu saat aku bertanya kepadanya.
Tak ada salam perpisahan antara aku dan teman-temanku. Keadaanku yang menjadikanku enggan bertemu mereka. MALU. Tanpa pamit kepada siapapun kami meluncur ke desa dengan menggunakan bus ekonomi. Ngirit ongkos. Ibu harus lebih berhemat sekarang. Sepanjang perjalanan aku hanya memandangi indahnya alam Wonosobo dan tetangga-tetangganya. Ibu dan gadis kecilku tertidur pulas. Semburat wajah penuh kelelahan nampak jelas pada keduanya.
Waktu serasa berputar lebih cepat. Tak terasa kami telah sampai di kampung halaman. Nenek telah mematung diri di teras rumah. Ciuman dan dekapan mesrapun tak dapat dihindari. Air beningpun tumpah ruah mengharu biru.
 “ Cah ayu, turu wae…ben awakmu tambah sehat”, kata nenek lembut.
Inggih Mbah”, jawab kami kompak.
Kamar yang kecil. Tak ada yang berubah dari dulu. Catnyapun sudah memudar. Hanya ada satu ranjang, satu almari dan satu meja plus kursi. Gadis kecilku membaringkan tubuhnya ke kasur. Diliriknya aku yang masih terduduk di kursi roda. Diapun tersenyum malu. Tubuh mungil itu segara bangkit dan menghampiriku. Kecilnya tubuh tak membuatnya enggan membantuku. Entah dari mana kekuatan itu. Dia begitu kuat memapahku kekasur. Kamipun tertidur pulas.
Sepanjang hari hanya aku isi dengan lamunan. Acap kali nenek menegurku untuk melakukan hal yang lebih bermanfaat. Aku hanya terdiam. Hati ini selalu dirundung sepi di kala adikku sekolah. Ibu sibuk membantu nenek di sawah. Sementara aku tak dapat melakukan apa-apa.
Satu tahun telah berlalu. Tak terasa waktu begitu cepat berputar. Namun aku masih tetap sama dengan aku setahun yang lalu. Tak ada yang dapat aku lakukan. Tak ada perkembangan dalam diriku. Panas dan dingin tak dapat mempengaruhi hatiku. Hampa. Tak ada teman di sampingku. Hanya adikku yang setia menemaniku.
Hujan lebat tengah mengguyur kampung halamanku. Tak ada aktivitas seharian penuh. Semua berkumpul di rumah. Perbincanganpun mulai bergulir. Pisang goreng dan teh anget turut menemani. Canda tawa mewarnai guyuran hujan lebat di kampung ini. Sayang aku tak dapat turut serta. Senyum ini seakan telah lenyap dariku. Angin sejuk berhembus pelan menyelinap masuk ke rumah dan menggoyangkan rambut panjangku yang terurai.
Mira….ojo dipikirke terus. Sing uwis yo uwis. Tambah kuru awakmu”, kata nenek lembut.
Aku hanya mencoba tersenyum untuknya. Namun tetap saja terlihat kaku. Diapun mendekatiku dan membelai lembut rambutku.
Rambutmu apik tenan, Mir. Luwih apik maneh ngger ditutup krudung. Kaya adikmu”, kata-katanya begitu menusuk relung hatiku. Aku tertunduk malu. Raut mukaku memerah dalam sekejap. Ibu yang menyadari hal itu, segera mendorong kursi rodaku ke kamar.
“ Jangan dimasukin ke hati Mir”, bisik ibu.
“ Inggih Bu”, jawabku singkat.
Kata-kata nenek terus membayangi pikiranku. Mata ini tak dapat terpejam. Air beningpun keluar dari singgasananya. Alunan musik jangkrik menemani kesendirianku di pekatnya malam.
Serasa baru saja membaringkan tubuh ini, mentari telah merangkak naik menyapa manusia. Lantunan syahdu ayat-ayat suci al quran turut menghiasi. Gadis kecilku tengah sibuk memakai jilbab putihnya. Aku hanya tersenyum pahit memandangnya. Dia begitu cantik dan penurut. Tidak seperti aku yang pembangkang. Rona wajahnya semakin menawan setelah jilbab membalutnya rapi. Ah aku ini apa? Tak pernah menutup aurat kecuali shalat. Dia yang masih belia saja paham pentingnya menutup aurat. Andai aku terlahir seperti kamu, Farah. Pasti aku tidak akan kehilangan kaki kiriku. Ayah pasti masih bersama kita sekarang. Rumah itu pasti tidak akan dijual. Ah lagi-lagi aku berandai-andai yang tak ada manfaatnya. Nasi telah menjadi bubur.
“ Mbak kenapa?”, kata-katanya membuyarkan lamunanku.
“ Nggak kok, Dek. Kamu cantik banget. Nggak seperti Mbak. Sudah jelek, cacat lagi”, timpalku.
Matanya selalu berair ketika memandangku. Diapun bangkit dari duduknya dan mendekatiku. Kursi rodaku didorongnya pelan hingga tepat di depan cermin. Tangan pendeknya mengambil jilbab putih di sampingnya. Dilipatnya jilbab itu menjadi berbentuk segitiga dan menempelkannya ke kepalaku.
“ Mbak juga cantik dengan jilbab ini”, katanya lirih.
Sesosok gadis berjilbab di cermin terlihat begitu cantik. Apa ini aku? Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Sangat berbeda denganku.
“ Dek, ajari aku berjilbab ya? Mbak mohon….”, pintaku.
Dia hanya tersenyum seraya menganggukan kepalanya pelan. Matanya berbinar-binar. Diliriknya jam dinding tua di kamar. Jarum jam menunjukan pukul tujuh. Diapun berlari meninggalkanku. Ibu yang sedari tadi mematung diri di depan pintu mulai melangkah pelan ke arahku. Wanita itu mendekap erat tubuhku dan berbisik lembut di telinga kananku. “ Anak ibu sangat cantik”. Senyumnya terkembang manis. Aku hanya tersipu malu seraya menundukkan wajah meronaku.
“ Ibu……aku pengin sekolah lagi…”, kataku pelan masih tertunduk malu.
“ Harus Nak….masa depanmu masih panjang”, bisiknya lirih penuh kasih sayang.
Aliran darah dalam tubuhku mengalir cepat. Jantung ini semakin berdegup kencang. Cahaya kehidupan seakan berdatangan menghampiriku, bersimpul padu membangkitkan semangat hidup yang telah lama hilang.
Sejak perbincangan singkat dengan ibu kala itu, semangat hidupku semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kenyataan yang manis berbeda dari perkiraanku. Aku mendapatkan teman-teman yang menerima kehadiranku dengan segala kekuranganku. Mereka tak pernah memandangku sebelah mata. Tak pernah kata cela keluar dari mulut mereka.
“ Kau tak usah sungkan dengan kami. Kita ini teman. Tak boleh ada yang saling melecehkan diantara kita….”, kata Sri, salah satu teman terdekatku.
Ucapan Sri sangat menentramkan hatiku. Seakan udara sejuk merasuk ke sanubari. Sangat nyaman. Berbeda dengan teman-temanku di kota. Mereka sangat menjunjung tinggi harga diri keluarga. Egosentris serta gengsi mengakar kuat dalam diri mereka. Hanya keturunan orang kayalah yang dapat bergabung bersamanya. Beruntung aku termasuk dalam hitungan kaya waktu itu, sehingga dapat mencicipi pergaulan bebas bersama mereka. Kemauan mereka harus aku turuti, kalau tidak itu akan berdampak pada reputasiku di sekolah.
“ Pokoknya tidak boleh ada diantara kita yang beralasan untuk menolak menghadiri valentine party di rumah Jonatan. Titik!”, kata Siska, ketua geng bergengsi di SMAku dulu.
Aku hanya tertunduk mendengar ucapannya. Dia seperti peramal yang dapat membaca pikiranku. Dengan ragu aku mencoba berdalih.” Sis, bukannya aku tidak mau ikutan…..tapi orang tuaku nggak ngijinin aku ikut. Bukankah kita harus nurut apa kata mereka biar nggak kena sial?”.
“ Itu hanya mitos kuno. Apa kau ini orang purba? Hello….bangun dong! Ini jaman reformasi. Kita bebas lakukan apa yang ingin kita lakukan”.
Aku mencoba meniru gaya Siska. Semua ucapannya berhasil kurekam sempurna. Gayaku tak kalah dengannya. Ayah dan ibu hanya menangis mendengar ucapanku. Mereka tak mampu berbuat apa-apa terhadapku. Tanpa restunya aku meninggalkan rumah. Terlihat jelas Siska telah lama menungguku di seberang jalan rumahku lengkap dengan Jaguar hitamnya. Di sampingnya terlihat Bela dan Nindi berjejer rapi. Aku segera bergabung dengan mereka. Di belakangku tampak ayah mengejarku.
“ Amira…..jangan pergi……”, teriak Ayah.
Aku terus berlari kearah mereka. Tak berani aku menengok ke belakang. Tanpa kusadari tubuhku tersungkur ke aspal. Bersimbah darah. Kulihat remang-remang jaguar itu melaju dengan kecepatan tinggi menjauhiku. Ah, lagi-lagi bayangan itu merasuki pikiranku. Aku benci diriku yang dulu. Aku berhak untuk berubah menjadi lebih baik. Air beningpun menetes di pipiku. Sentuhan lembut Dian menghapusnya.
“ Jangan nangis Mir…..air mata tidak bisa merubah apa-apa”.
Semenjak berada dalam lingkungan mereka, hati ini begitu tenang. Tidak pernah ada kesendirian dalam hidupku. Sempurna. Apakah ini yang dinamakan hidup bahagia di dunia? Entahlah. Tetapi itulah yang aku rasakan.
Dian dan Sri tak pernah lelah menjemputku untuk mengaji Al quran di rumahnya Pak Sabar, Ustad tersohor di kampung ini. Sesuai dengan namanya, beliau sangat sabar menuntunku melantunkan ayat-ayat maha dahsyat_Nya. Meskipun aku masih ditingkat paling bawah, IQRO jilid I dan berbaur dengan anak-anak kelas satu SD, namun tidak ada perasaan malu bersarang dalam diriku. Kata Pak Sabar,” Nuntut ilmu kok malu, bagaimana mungkin kita akan mendapatkannya?”. Sebenarnya beliau belum pantas untuk dipanggil Pak karena usianya yang masih tergolong muda dan berstatus lajang. Decak kagum selalu memenuhi relung hati ini yang akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta. Berangkat mengaji bukan karena Allah, akan tetapi karena ingin bertemu dengannya. Dian pernah menasehatiku sebelum aku bertemu dengan beliau.  “ Jaga hatimu Mir….akan banyak rintangan yang akan menghadangmu di sana”. Awalnya aku tidak mengerti maksud perkataan Dian. Setelah lama aku bergelut dengan nafsu dan pikiranku, aku baru mengerti arti ucapan itu. Akupun langsung membabat habis benih-benih itu sampai ke akar-akarnya tanpa ragu. Ternyata tepatlah ucapan Dian kala itu. Langkah kakiku terasa ringan mendekatkan diri kepada_Nya.
Kebahagiaanku semakin memudar setelah kehadiran Jonatan kembali dalam kehidupanku. Ternyata telah lama dia mencariku dan takdirpun mempertemukan kami kembali dalam satu SMA. Tentunya dalam keadaan yang sangat jauh berbeda dengan dulu.
“ Amira….akhirnya aku menemukanmu….”. Tangan kekarnya meraih tubuhku dan mendekapmu erat.
“ Jo, lepaskan aku….ini di kampung, bukan di kota”, kataku gugup berusaha melepaskan dekapannya. Namun tak ada hasilnya. Dekapannya bertambah kuat. Dadaku terasa sesak.
“ Hei, lepaskan! Kau bisa membunuhnya”, kata Sri lantang. Tamparan keras Sri berhasil mengendurkan dekapan Jo. Dengan bantuan Dian, akupun dapat terlepas darinya. Jo kelihatan sangat terpukul dan malu dengan kejadian tadi. Namun kami meninggalkannya sendiri tanpa iba terhadapnya.
Entah jin apa yang merasuki Jo. Semakin hari sikapnya semakin baik dan sopan terhadapku. Yang lebih mengejutkan lagi adalah dia selalu menguntitku kemanapun aku pergi. Diapun ikut mengaji bersama Pak Sabar dan satu kelas denganku. Sering kami berdua menjadi bahan perbincangan bocah-bocah kecil yang satu kelas dengan kami. Ternyata pengaruh tayangan-tayangan televisi mendewasakan mereka lebih dini. Akupun tak dapat berbuat banyak. Diam. Tertunduk malu.
“ Jo apa kamu udah muallaf?”, tanyaku pelan berusaha menjaga perasaannya.
“ Kenapa tanya begitu? Apa kamu masih belum percaya? Kalau aku belum muallaf ngapain aku ikut kamu shalat ke masjid? Ngapain aku ikut kamu ngaji alquran? Aku baru sadar betapa indahnya islam mengatur hidup umatnya. Terima kasih kamu telah menyelamatkanku dari siksa_Nya”.
Ucapannya menusuk jantungku. Apakah dia Jo yang aku kenal dulu? Ya semoga saja benar begitu apa adanya. Dia seorang muallaf. Syukurlah.
Ucapan Jo masih terngiang-ngiang di telingaku. Semilir angin sejuk menghantarkanku ke alam mimpi. Alunan ayat-ayat suci_Nya menjadi musik pengantar tidurku. Di iringi jangkrik yang tak mau kalah saing dengan itu.
Malam telah berganti pagi. Mentari mulai menampakkan dirinya dengan menawan. Dikelilingi awan yang membundar mengelilinginya. Nyanyian burung emprit menambah indahnya pagi berselimut kabut ini. Tak kusadari Dian dan Sri telah lama di sampingku.
“ Eh, Nak Dian…Sri….kebetulan ibu lagi bikin gedang goreng. Dicicipi ya…”, sapa Ibu ramah.
Tak selang lama gadis kecilku bergabung bersama kami bertiga, diikuti nenek di belakangnya dan terakhir ibu. Dia membawa nampan penuh pisang goreng dan teh anget tentunya. Kamipun berkumpul bersama. Canda dan tawa menghiasi kami.
“ Eh ngomong-ngomong sekarang tanggal berapa ya?”, tanya Farah polos.
“ Empat belas februari….kenapa Dek?”, jawabku datar.
Semua terdiam. Kesunyian menyelimuti kami.
“ Assalamualaikum……….”. Ucapan salam berhasil mengagetkan kami. Terlihat Jo tengah berdiri di depan pintu. Tanpa dipersilahkan, dia melangkah masuk dan bergabung dengan kami.
“ Nah sempurna. Semuanya hadir di sini”, kata Jo mantap.
“ Apa maksudmu Jo”, aku menimpalinya.
“ Amira……..happy valentine….”. Tangannya meraih tanganku. “ Maaf baru kali ini aku mengucapkannya. Waktu itu kau pergi lebih dulu dan langsung menghilang jadi aku nggak bisa ngucapinnya. Maafin aku ya?”, kata Jo menyesal.
Bayangan itu muncul lagi. Air bening ini mengucur deras. Semua pasang mata tertegun melihatku.  Teriakan terakhir Ayah terdengar di telingaku. Aku menjerit. Menangis histeris. Ibu segera menenangkanku. Bayangan Ayah terus menanpakkan diri. “ Amira putriku….jangan menangis. Balaslah ucapannya dengan ucapan yang lebih baik dan mampu menyadarkannya. Hanya kamu yang mampu melakukannya. Hanya kamu yang mampu melakukannya. Hanya kamu Amira…”. Bayangan Ayah telah menghilang bersama dengan suara itu. Akupun mencoba menenangkan hatiku. Kuusap seluruh air bening di pipiku dan meyakinkan diri untuk berucap pada Jo.
“ Jo, jangan pernah bilang happy valentine lagi. Karena aku muslim. Kamu muslim. Kita semua ini muslim. Dan itu bukan ajaran agama kita. Apa kamu mau hari kasih sayang hanya satu hari dalam setahun? Bagi umat islam, semua hari adalah hari kasih sayang. So, nggak ada guna kamu ngucapin kaya gitu”. Akupun menghela nafas lega.
Semua terbelalak mendengar ucapanku, termasuk Jo. Diapun terisak lirih. Masih tertunduk malu.
“ Jo, angkatlah wajahmu!”, pintaku.
Diapun mengangkat wajahnya pelan. Kedua matanya masih berair. “ Maafin aku Mir….aku minta maaf…”. Wajahnya kembali tertunduk.
“ Apa yang kau bawa?”, tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“ Aku…aku bawa ini semua untukmu Mira….aku suka kamu….”. diambilnya sekotak coklat dan sebuah cincin berlian.
“ Kau sungguh memberikan ini semua untukku?”, tanyaku meyakinkan. Dia hanya mengangguk pelan. “ Ok, aku terima semua pemberianmu”, kataku datar.
“ Benarkah? Kau mau jadi pacarku?”, tanya Jo meyakinkan dirinya.
“ Iya….tapi nggak sekarang ini. Kita masih sekolah. Dan aku minta cincin itu sebaiknya dijual saja, terus uangnya kita bagikan ke warga sekitar, gimana Bu?”. Ibu mengangguk pelan. Diikuti yang lainnya. Akupun tersenyum bahagia.









1 komentar:

  1. Lucky Club: The most exclusive and trusted online casino site
    In 1998, Jackpot Casino acquired the European license to supply online casino games to luckyclub.live a global audience. With the addition of more established gaming

    BalasHapus