Mata ini begitu berat untuk kubuka. Tubuh ini begitu sulit untuk
aku gerakkan. bayang-bayang semu mengitariku. Siapa mereka? Kabut tebal
menempel di kedua mataku. Mereka seperti memanggilku. Tetapi siapa mereka?
kenapa memanggilku seperti itu?
“ Amira….”, suara itu terdengar parau di telingaku. Dia terus
berdengung hingga merasuk ke dalam jiwaku. Mata ini berusaha menajamkan
penglihatan. Cahaya. Cahaya itu semakin mendekatiku. Kabut mulai memudar.
Wajah-wajah penuh harap mulai terlihat jelas oleh mataku. Ibu tua berbadan
gemuk mendekap tubuhku kuat-kuat. Tetesan air bening dari kelopak matanya
membasahi piamaku. Aku hanya diam membisu. Tak kuasa mengucapkan sepatah
katapun. Bibir ini terus bergetar. Tak kusadari air bening ini menetes. Apa
yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua menangis?
“ Mbak yang sabar ya…”, tutur lembut bocah kecil di sampingku. Tangannya
menggenggam erat tanganku. Aku hanya tersenyum manis kepadanya. Apa yang ada di
dalam otaknya? Tutur katanya begitu menyesakkan dada. Otakku masih berpikir
keras mengeluarkan semua isi di dalamnya. Kosong. Kenapa ada ruang kosong di
sana? Kemana isinya? Memoriku telah hilang. Tepatnya kejadian malam itu. Malam minggu.
Lamunanku buyar saat ibu melepaskan dekapannya.
“ Nak, sebaiknya kamu istirahat dulu, jangan berpikir yang neko-neko
“, kata wanita tua di sampingku. Akupun menurut apa katanya karena dialah
wanita yang berjasa melahirkanku dan bersusah payah membesarkanku. Dengan
segala rintangan untuk mendidikku dan juga adik kecilku.
Seharian ini aku hanya terbaring lemah di atas ranjang yang bukan
ranjangku. Kata ibu aku tidak boleh bergerak sedikitpun. Tanpa membantah sedikitpun
aku menurutinya. Namun lama kelamaan tubuh ini terasa letih terbaring di
ranjang terus. Di saat ibu tak ada di sampingku, aku mencoba untuk menggerakkan
tubuhku. Sendi-sendi ini terasa kaku dan sakit bila digerakkan tetapi aku tetap
nekad untuk duduk.
“ Mbak Mira…”, teriak gadis kecil. Diapun segera membantuku untuk
duduk. Tanganku memegang erat si ranjang besi. Dengan sisa tenaga yang aku
miliki, tubuh inipun dapat duduk meskipun harus disandarkan pada bantal. Hati
ini begitu senang dapat bangkit dari pembaringanku.
“ Terima kasih Dek udah bantuin Mbak”, kataku lembut. Dia hanya
tersenyum pilu memandangku. Matanya selalu berair ketika melihatku tersenyum. Matanya
seolah menyimpan memoriku yang telah hilang. Aku mengalihkan pandanganku
darinya. Kuperhatikan lekat-lekat tubuh lemahku. Kakiku selalu tertutup rapat
oleh selimut hijau. Hati kecilku menginginkan untuk melihatnya. Akupun
merabanya satu persatu. Kaki kiriku kemana? Kenapa tanganku tak dapat
menyentuhnya? Aku membukanya dengan perlahan.
Jantung ini berdegup kencang. Tak biasanya tangan ini gemetar.
“ Dek…apa yang terjadi?”, tanyaku lirih. Tubuh ini terus gemetar.
“ Mbak yang sabar ya…”, suaranya menghilang. Isak tangisnya semakin
menyayat hatiku. “ Ka…ki kiri Mbak diamputasi….”, lanjutnya dengan
terbata-bata.
Wanita tua yang telah lama memperhatikan kami mendekat dengan
langkah gontai. Dia mendekapku erat. Mencium keningku berulang kali. Air bening
ini terus mengucur deras tak terbendung. Dia terus berbisik di telingaku. Rupanya
sedan merah telah mematahkan tulang kaki kiriku sehingga harus diamputasi. Ingatanku
sedikit demi sedikit kembali. Allah telah menegurku. Rasa penyesalan terus
membayangiku. Penyesalanku bertambah dalam saat mengetahui pria yang selalu
melindungiku sejak kecil dan menggendongku jikalau aku menangis kini telah
tiada. Ayah terkena serangan jantung saat melihat kaki kiriku diamputasi. Kini
hari-hariku penuh dengan penyesalan. Putaran waktu terasa begitu pelan dan
menyayat hatiku.
Genap satu bulan aku menjadi penghuni Rumah Sakit Kariyadi,
Semarang dan kini saatnya bagiku menghirup udara luar. Namun, Ibu memboyongku
ke rumah nenek di desa. Semua harta telah ludes untuk membayar pengobatanku di
rumah sakit. Rumah yang kami tinggali telah terjual. Aku dan adikku terpaksa
pindah sekolah ke desa. Ibu begitu tegar menghadapi semua ini. “ Kalianlah
semangat ibu”, kata ibu saat aku bertanya kepadanya.
Tak ada salam perpisahan antara aku dan teman-temanku. Keadaanku
yang menjadikanku enggan bertemu mereka. MALU. Tanpa pamit kepada siapapun kami
meluncur ke desa dengan menggunakan bus ekonomi. Ngirit ongkos. Ibu harus lebih
berhemat sekarang. Sepanjang perjalanan aku hanya memandangi indahnya alam
Wonosobo dan tetangga-tetangganya. Ibu dan gadis kecilku tertidur pulas. Semburat
wajah penuh kelelahan nampak jelas pada keduanya.
Waktu serasa berputar lebih cepat. Tak terasa kami telah sampai di
kampung halaman. Nenek telah mematung diri di teras rumah. Ciuman dan dekapan
mesrapun tak dapat dihindari. Air beningpun tumpah ruah mengharu biru.
“ Cah ayu, turu wae…ben
awakmu tambah sehat”, kata nenek lembut.
“ Inggih Mbah”, jawab kami kompak.
Kamar yang kecil. Tak ada yang berubah dari dulu. Catnyapun sudah
memudar. Hanya ada satu ranjang, satu almari dan satu meja plus kursi. Gadis
kecilku membaringkan tubuhnya ke kasur. Diliriknya aku yang masih terduduk di
kursi roda. Diapun tersenyum malu. Tubuh mungil itu segara bangkit dan
menghampiriku. Kecilnya tubuh tak membuatnya enggan membantuku. Entah dari mana
kekuatan itu. Dia begitu kuat memapahku kekasur. Kamipun tertidur pulas.
Sepanjang hari hanya aku isi dengan lamunan. Acap kali nenek
menegurku untuk melakukan hal yang lebih bermanfaat. Aku hanya terdiam. Hati
ini selalu dirundung sepi di kala adikku sekolah. Ibu sibuk membantu nenek di
sawah. Sementara aku tak dapat melakukan apa-apa.
Satu tahun telah berlalu. Tak terasa waktu begitu cepat berputar. Namun
aku masih tetap sama dengan aku setahun yang lalu. Tak ada yang dapat aku
lakukan. Tak ada perkembangan dalam diriku. Panas dan dingin tak dapat
mempengaruhi hatiku. Hampa. Tak ada teman di sampingku. Hanya adikku yang setia
menemaniku.
Hujan lebat tengah mengguyur kampung halamanku. Tak ada aktivitas
seharian penuh. Semua berkumpul di rumah. Perbincanganpun mulai bergulir. Pisang
goreng dan teh anget turut menemani. Canda tawa mewarnai guyuran hujan lebat di
kampung ini. Sayang aku tak dapat turut serta. Senyum ini seakan telah lenyap
dariku. Angin sejuk berhembus pelan menyelinap masuk ke rumah dan menggoyangkan
rambut panjangku yang terurai.
“ Mira….ojo dipikirke terus. Sing uwis yo uwis. Tambah kuru
awakmu”, kata nenek lembut.
Aku hanya mencoba tersenyum untuknya. Namun tetap saja terlihat
kaku. Diapun mendekatiku dan membelai lembut rambutku.
“ Rambutmu apik tenan, Mir. Luwih apik maneh ngger ditutup
krudung. Kaya adikmu”, kata-katanya begitu menusuk relung hatiku. Aku
tertunduk malu. Raut mukaku memerah dalam sekejap. Ibu yang menyadari hal itu,
segera mendorong kursi rodaku ke kamar.
“ Jangan dimasukin ke hati Mir”, bisik ibu.
“ Inggih Bu”, jawabku singkat.
Kata-kata nenek terus membayangi pikiranku. Mata ini tak dapat
terpejam. Air beningpun keluar dari singgasananya. Alunan musik jangkrik
menemani kesendirianku di pekatnya malam.
Serasa baru saja membaringkan tubuh ini, mentari telah merangkak
naik menyapa manusia. Lantunan syahdu ayat-ayat suci al quran turut menghiasi. Gadis
kecilku tengah sibuk memakai jilbab putihnya. Aku hanya tersenyum pahit
memandangnya. Dia begitu cantik dan penurut. Tidak seperti aku yang
pembangkang. Rona wajahnya semakin menawan setelah jilbab membalutnya rapi. Ah
aku ini apa? Tak pernah menutup aurat kecuali shalat. Dia yang masih belia saja
paham pentingnya menutup aurat. Andai aku terlahir seperti kamu, Farah. Pasti
aku tidak akan kehilangan kaki kiriku. Ayah pasti masih bersama kita sekarang.
Rumah itu pasti tidak akan dijual. Ah lagi-lagi aku berandai-andai yang tak ada
manfaatnya. Nasi telah menjadi bubur.
“ Mbak kenapa?”, kata-katanya membuyarkan lamunanku.
“ Nggak kok, Dek. Kamu cantik banget. Nggak seperti Mbak. Sudah
jelek, cacat lagi”, timpalku.
Matanya selalu berair ketika memandangku. Diapun bangkit dari
duduknya dan mendekatiku. Kursi rodaku didorongnya pelan hingga tepat di depan
cermin. Tangan pendeknya mengambil jilbab putih di sampingnya. Dilipatnya jilbab
itu menjadi berbentuk segitiga dan menempelkannya ke kepalaku.
“ Mbak juga cantik dengan jilbab ini”, katanya lirih.
Sesosok gadis berjilbab di cermin terlihat begitu cantik. Apa ini
aku? Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Sangat berbeda denganku.
“ Dek, ajari aku berjilbab ya? Mbak mohon….”, pintaku.
Dia hanya tersenyum seraya menganggukan kepalanya pelan. Matanya
berbinar-binar. Diliriknya jam dinding tua di kamar. Jarum jam menunjukan pukul
tujuh. Diapun berlari meninggalkanku. Ibu yang sedari tadi mematung diri di depan
pintu mulai melangkah pelan ke arahku. Wanita itu mendekap erat tubuhku dan
berbisik lembut di telinga kananku. “ Anak ibu sangat cantik”. Senyumnya
terkembang manis. Aku hanya tersipu malu seraya menundukkan wajah meronaku.
“ Ibu……aku pengin sekolah lagi…”, kataku pelan masih tertunduk
malu.
“ Harus Nak….masa depanmu masih panjang”, bisiknya lirih penuh
kasih sayang.
Aliran darah dalam tubuhku mengalir cepat. Jantung ini semakin
berdegup kencang. Cahaya kehidupan seakan berdatangan menghampiriku, bersimpul
padu membangkitkan semangat hidup yang telah lama hilang.
Sejak perbincangan singkat dengan ibu kala itu, semangat hidupku
semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kenyataan yang manis berbeda dari
perkiraanku. Aku mendapatkan teman-teman yang menerima kehadiranku dengan
segala kekuranganku. Mereka tak pernah memandangku sebelah mata. Tak pernah
kata cela keluar dari mulut mereka.
“ Kau tak usah sungkan dengan kami. Kita ini teman. Tak boleh ada
yang saling melecehkan diantara kita….”, kata Sri, salah satu teman terdekatku.
Ucapan Sri sangat menentramkan hatiku. Seakan udara sejuk merasuk
ke sanubari. Sangat nyaman. Berbeda dengan teman-temanku di kota. Mereka sangat
menjunjung tinggi harga diri keluarga. Egosentris serta gengsi mengakar kuat
dalam diri mereka. Hanya keturunan orang kayalah yang dapat bergabung
bersamanya. Beruntung aku termasuk dalam hitungan kaya waktu itu, sehingga
dapat mencicipi pergaulan bebas bersama mereka. Kemauan mereka harus aku turuti,
kalau tidak itu akan berdampak pada reputasiku di sekolah.
“ Pokoknya tidak boleh ada diantara kita yang beralasan untuk
menolak menghadiri valentine party di rumah Jonatan. Titik!”, kata
Siska, ketua geng bergengsi di SMAku dulu.
Aku hanya tertunduk mendengar ucapannya. Dia seperti peramal yang
dapat membaca pikiranku. Dengan ragu aku mencoba berdalih.” Sis, bukannya aku
tidak mau ikutan…..tapi orang tuaku nggak ngijinin aku ikut. Bukankah kita
harus nurut apa kata mereka biar nggak kena sial?”.
“ Itu hanya mitos kuno. Apa kau ini orang purba? Hello….bangun
dong! Ini jaman reformasi. Kita bebas lakukan apa yang ingin kita lakukan”.
Aku mencoba meniru gaya Siska. Semua ucapannya berhasil kurekam
sempurna. Gayaku tak kalah dengannya. Ayah dan ibu hanya menangis mendengar
ucapanku. Mereka tak mampu berbuat apa-apa terhadapku. Tanpa restunya aku
meninggalkan rumah. Terlihat jelas Siska telah lama menungguku di seberang
jalan rumahku lengkap dengan Jaguar hitamnya. Di sampingnya terlihat Bela dan
Nindi berjejer rapi. Aku segera bergabung dengan mereka. Di belakangku tampak
ayah mengejarku.
“ Amira…..jangan pergi……”, teriak Ayah.
Aku terus berlari kearah mereka. Tak berani aku menengok ke
belakang. Tanpa kusadari tubuhku tersungkur ke aspal. Bersimbah darah. Kulihat
remang-remang jaguar itu melaju dengan kecepatan tinggi menjauhiku. Ah,
lagi-lagi bayangan itu merasuki pikiranku. Aku benci diriku yang dulu. Aku
berhak untuk berubah menjadi lebih baik. Air beningpun menetes di pipiku.
Sentuhan lembut Dian menghapusnya.
“ Jangan nangis Mir…..air mata tidak bisa merubah apa-apa”.
Semenjak berada dalam lingkungan mereka, hati ini begitu tenang.
Tidak pernah ada kesendirian dalam hidupku. Sempurna. Apakah ini yang dinamakan
hidup bahagia di dunia? Entahlah. Tetapi itulah yang aku rasakan.
Dian dan Sri tak pernah lelah menjemputku untuk mengaji Al quran di
rumahnya Pak Sabar, Ustad tersohor di kampung ini. Sesuai dengan namanya, beliau
sangat sabar menuntunku melantunkan ayat-ayat maha dahsyat_Nya. Meskipun aku
masih ditingkat paling bawah, IQRO jilid I dan berbaur dengan anak-anak kelas
satu SD, namun tidak ada perasaan malu bersarang dalam diriku. Kata Pak Sabar,”
Nuntut ilmu kok malu, bagaimana mungkin kita akan mendapatkannya?”. Sebenarnya
beliau belum pantas untuk dipanggil Pak karena usianya yang masih tergolong
muda dan berstatus lajang. Decak kagum selalu memenuhi relung hati ini yang
akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta. Berangkat mengaji bukan karena Allah,
akan tetapi karena ingin bertemu dengannya. Dian pernah menasehatiku sebelum
aku bertemu dengan beliau. “ Jaga hatimu
Mir….akan banyak rintangan yang akan menghadangmu di sana”. Awalnya aku tidak
mengerti maksud perkataan Dian. Setelah lama aku bergelut dengan nafsu dan
pikiranku, aku baru mengerti arti ucapan itu. Akupun langsung membabat habis
benih-benih itu sampai ke akar-akarnya tanpa ragu. Ternyata tepatlah ucapan
Dian kala itu. Langkah kakiku terasa ringan mendekatkan diri kepada_Nya.
Kebahagiaanku semakin memudar setelah kehadiran Jonatan kembali
dalam kehidupanku. Ternyata telah lama dia mencariku dan takdirpun
mempertemukan kami kembali dalam satu SMA. Tentunya dalam keadaan yang sangat
jauh berbeda dengan dulu.
“ Amira….akhirnya aku menemukanmu….”. Tangan kekarnya meraih tubuhku
dan mendekapmu erat.
“ Jo, lepaskan aku….ini di kampung, bukan di kota”, kataku gugup
berusaha melepaskan dekapannya. Namun tak ada hasilnya. Dekapannya bertambah
kuat. Dadaku terasa sesak.
“ Hei, lepaskan! Kau bisa membunuhnya”, kata Sri lantang. Tamparan
keras Sri berhasil mengendurkan dekapan Jo. Dengan bantuan Dian, akupun dapat
terlepas darinya. Jo kelihatan sangat terpukul dan malu dengan kejadian tadi.
Namun kami meninggalkannya sendiri tanpa iba terhadapnya.
Entah jin apa yang merasuki Jo. Semakin hari sikapnya semakin baik
dan sopan terhadapku. Yang lebih mengejutkan lagi adalah dia selalu menguntitku
kemanapun aku pergi. Diapun ikut mengaji bersama Pak Sabar dan satu kelas
denganku. Sering kami berdua menjadi bahan perbincangan bocah-bocah kecil yang
satu kelas dengan kami. Ternyata pengaruh tayangan-tayangan televisi
mendewasakan mereka lebih dini. Akupun tak dapat berbuat banyak. Diam.
Tertunduk malu.
“ Jo apa kamu udah muallaf?”, tanyaku pelan berusaha menjaga
perasaannya.
“ Kenapa tanya begitu? Apa kamu masih belum percaya? Kalau aku
belum muallaf ngapain aku ikut kamu shalat ke masjid? Ngapain aku ikut kamu
ngaji alquran? Aku baru sadar betapa indahnya islam mengatur hidup umatnya.
Terima kasih kamu telah menyelamatkanku dari siksa_Nya”.
Ucapannya menusuk jantungku. Apakah dia Jo yang aku kenal dulu? Ya
semoga saja benar begitu apa adanya. Dia seorang muallaf. Syukurlah.
Ucapan Jo masih terngiang-ngiang di telingaku. Semilir angin sejuk
menghantarkanku ke alam mimpi. Alunan ayat-ayat suci_Nya menjadi musik
pengantar tidurku. Di iringi jangkrik yang tak mau kalah saing dengan itu.
Malam telah berganti pagi. Mentari mulai menampakkan dirinya dengan
menawan. Dikelilingi awan yang membundar mengelilinginya. Nyanyian burung
emprit menambah indahnya pagi berselimut kabut ini. Tak kusadari Dian dan Sri
telah lama di sampingku.
“ Eh, Nak Dian…Sri….kebetulan ibu lagi bikin gedang goreng.
Dicicipi ya…”, sapa Ibu ramah.
Tak selang lama gadis kecilku bergabung bersama kami bertiga, diikuti
nenek di belakangnya dan terakhir ibu. Dia membawa nampan penuh pisang goreng
dan teh anget tentunya. Kamipun berkumpul bersama. Canda dan tawa menghiasi
kami.
“ Eh ngomong-ngomong sekarang tanggal berapa ya?”, tanya Farah
polos.
“ Empat belas februari….kenapa Dek?”, jawabku datar.
Semua terdiam. Kesunyian menyelimuti kami.
“ Assalamualaikum……….”. Ucapan salam berhasil mengagetkan kami. Terlihat
Jo tengah berdiri di depan pintu. Tanpa dipersilahkan, dia melangkah masuk dan
bergabung dengan kami.
“ Nah sempurna. Semuanya hadir di sini”, kata Jo mantap.
“ Apa maksudmu Jo”, aku menimpalinya.
“ Amira……..happy valentine….”. Tangannya meraih tanganku. “ Maaf
baru kali ini aku mengucapkannya. Waktu itu kau pergi lebih dulu dan langsung
menghilang jadi aku nggak bisa ngucapinnya. Maafin aku ya?”, kata Jo menyesal.
Bayangan itu muncul lagi. Air bening ini mengucur deras. Semua
pasang mata tertegun melihatku. Teriakan
terakhir Ayah terdengar di telingaku. Aku menjerit. Menangis histeris. Ibu
segera menenangkanku. Bayangan Ayah terus menanpakkan diri. “ Amira
putriku….jangan menangis. Balaslah ucapannya dengan ucapan yang lebih baik dan
mampu menyadarkannya. Hanya kamu yang mampu melakukannya. Hanya kamu yang mampu
melakukannya. Hanya kamu Amira…”. Bayangan Ayah telah menghilang bersama dengan
suara itu. Akupun mencoba menenangkan hatiku. Kuusap seluruh air bening di
pipiku dan meyakinkan diri untuk berucap pada Jo.
“ Jo, jangan pernah bilang happy valentine lagi. Karena aku
muslim. Kamu muslim. Kita semua ini muslim. Dan itu bukan ajaran agama kita.
Apa kamu mau hari kasih sayang hanya satu hari dalam setahun? Bagi umat islam,
semua hari adalah hari kasih sayang. So, nggak ada guna kamu ngucapin kaya gitu”.
Akupun menghela nafas lega.
Semua terbelalak mendengar ucapanku, termasuk Jo. Diapun terisak
lirih. Masih tertunduk malu.
“ Jo, angkatlah wajahmu!”, pintaku.
Diapun mengangkat wajahnya pelan. Kedua matanya masih berair. “ Maafin
aku Mir….aku minta maaf…”. Wajahnya kembali tertunduk.
“ Apa yang kau bawa?”, tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“ Aku…aku bawa ini semua untukmu Mira….aku suka kamu….”. diambilnya
sekotak coklat dan sebuah cincin berlian.
“ Kau sungguh memberikan ini semua untukku?”, tanyaku meyakinkan.
Dia hanya mengangguk pelan. “ Ok, aku terima semua pemberianmu”, kataku datar.
“ Benarkah? Kau mau jadi pacarku?”, tanya Jo meyakinkan dirinya.
“ Iya….tapi nggak sekarang ini. Kita masih sekolah. Dan aku minta
cincin itu sebaiknya dijual saja, terus uangnya kita bagikan ke warga sekitar,
gimana Bu?”. Ibu mengangguk pelan. Diikuti yang lainnya. Akupun tersenyum
bahagia.
Lucky Club: The most exclusive and trusted online casino site
BalasHapusIn 1998, Jackpot Casino acquired the European license to supply online casino games to luckyclub.live a global audience. With the addition of more established gaming