Langit
malam ditemani oleh bintang yang gemerlapan beserta sang penjaga malam yang
begitu menawan bila dipandang jauh oleh mata. Kawanan awan hitam tampak enggan
merusak indahnya malam.
Di bawah prajurit langit
yang mengangkasa jauh dari pandanganku, aku merebahkan tubuh ini di atas
gelaran tikar yang kubentangkan di pekarangan rumahku. Sambil memandangi sang
bidadari malam yang tak sungkan menemani kesendirianku di malam ini. Terbesit
dalam otakku bayang semu sang bidadari yang telah merenggut hatiku. Senyumnya begitu
menyejukkan jiwa.
Bayang masa lalu terus
berdatangan menjejali otakku. Aku yang dulu sangat jauh berbeda dengan aku yang
sekarang. Semenjak pertemuanku dengannya dalam sebuah ajang English Speech
Contest antar kelas X dan aku menjadi The Winner, sementara dia
menjadi Runner Up- semangat menimba samudra ilmu semakin menggebu. Ghirah
dalam diri ini untuk selalu menjadi yang lebih unggul darinya, semakin mengakar
kuat. Pertemuan demi pertemuan selalu menyisakan rindu dalam dada. Benih-benih
cinta semakin tumbuh dengan subur. Hari-hariku menjadi lebih berwarna berkat
kehadirannya dalam hidupku.
kedekatanku dengannya
semakin menjadi setelah kami menimba ilmu dalam satu ruang kelas. Seakan semua
orang telah merestui kami. Dalam setiap kesempatan kelompok belajar di kelas,
kami menjadi anggota tetap dalam suatu kelompok. Terkadang dia yang menjadi
pemimpinku, terkadang pula aku yang menjadi pemimpinnya. Dahaga jiwa yang telah lama kering kerontang
kini telah terisi olehnya.
Ketidaksengajaan dalam
kebersamaan kami terkadang menyulut api cemburu kaum lelaki yang menaruh hati
kepadanya.
“Apa kamu tidak tahu banyak
cowok yang suka sama kamu?”, kataku dengan sedikit mawas diri, takut
menyinggungnya.
“Tahu. Emangnya kenapa?”.
Raut mukanya berubah masam. Akupun tak berani melanjutkan perbincangan sore
itu. Kami pun kembali melangkahkan kaki menuju peristirahatan masing-masing
yang kebetulan satu arah denganku. Tanpa canda tawa lagi. Kami memang sering
terlihat jalan bareng, berangkat ke sekolah, pulang dari sekolah, memburu buku
di perpusatakaan dan terkadang makan bareng di kantin, layaknya sepasang
kekasih. Aku berharap itu akan segera menjadi kenyataan dalam hidupku. Kacantikan
jiwa dan raganya menimbulkan decak kagumku padanya.
“ Dhuha yuk! Inget lho
semakin hari umur kita semakin berkurang”. Kerlingan matanya membuatku kikuk.
Wajahku memerah seketika. Akupun menundukkan pandanganku padanya dan berjalan
mengiringinya ke mushola. Dia sering membuatku gugup bila sepasang matanya
menangkap gerak-gerik tubuhku.
“Apa yang kamu lihat, Put?”.
Aku berusaha menghentikan pandangan matanya. Namun, usahaku tampak sia-sia.
Mata bundarnya semakin menatapku dengan tajam. Dia tak menjawab pertanyaanku.
Hanya senyuman manis, semanis namanya, Putri, yang dia suguhkan untukku. Aku
semakin kikuk dibuatnya. Tangannya meraih rambutku dan merapikannya. Sentuhan
jemarinya begitu lembut terasa. Indahnya hidup bila dipenuhi cinta.
“Putra…..”. Suara itu
membuyarkan lamunanku. Wajah ini pun menoleh ke belakang. Terlihat ibu tengah
berjalan mendekatiku seraya membawa nampan coklat berisi mendoan dan teh
hangat.
“Boleh ibu temani, Nak?”
“Tentu Bu.”
Ibu memilih duduk di
samping kananku. Kami pun bercengkrama layaknya sepasang kekasih yang tengah
memadu cinta.
“Kayaknya anak Ibu lagi
kasmaran nih.” Kata-kata itu begitu menyesakkan dada. Mendoan yang
tengah bergoyang dalam mulutku, seketika itu pula berhamburan keluar dan
mengotori celana oblongku. Segelintir dari mereka memaksa masuk ke tenggorokanku.
Akupun tersedak dan menyambar gelas berisikan teh di depanku. Sementara ibu
menepuk-nepuk punggungku.
“ Yang sabar kalau makan
Le….”, kata ibu masih menepuk-nepuk punggungku.
“ Ibu sih….”. Suaraku pun
menggemaskan ibu. Dia mencubit pipiku gemas.
“ Ayo ceritain ke Ibu.
Masa Ibu nggak dikasih tahu?”, pintanya sedikit memaksa.
Tanganku merogoh sesuatu
dalam kantong celanaku dan memberikan kepadanya.
“ Siapa dia?” tanya ibu
sambil mengernyitkan dahi.
“ Namanya Putri, Bu. Dia teman
sekelasku,” jawabku singkat.
“ Kamu suka sama dia?”
Ibu mulai menggodaku lagi.
Aku tersipu malu. Mata
ini tak berani menatapnya. Aku hanya mengangguk pelan diselimuti keraguan.
“ Dia udah tahu
perasaanmu?” Aku hanya geleng kepala. Wajahku semakin menunduk malu. Melihat
sikapku yang kekanak-kanakan, ibu meraih hand phone milikku dan
memberikannya padaku.
“ Telpon dia!” paksa Ibu.
Dengan ragu aku mendial
nomor Putri. Jantung ini semakin berdegup kencang saat suaranya terhubung denganku.
Mulut ini berkomat kamit tak jelas apa yang diucapkan.
“ Assalamualaikum, Ra”.
Suaranya mendobrak pintu hatiku. Seakan memaksaku untuk mengutarakan perasaanku
padanya.
“ Waalaikum salam, aku
ganggu nggak?” kataku mengawali perbincangan kami.
“ Nggak kok. Tumben
telpon?”, tanyanya polos.
Huffs. Aku menghela nafas
panjang dan mengatur irama detak jantungku. Sesekali aku berolah vokal sebelum
berbicara kepadanya. Ibu yang sedari tadi di sampingku, terus berbisik kepadaku
dan menatapku tajam yang membuat lidahku semakin kelu.
“ Put…sebenarnya aku…em….semenjak
aku kenal kamu, aku merasa kamulah yang selama ini aku cari. Aku
sungguh….menyukaimu Put”. Keringat dingin mengucur deras seakan memandikanku di
tengah malam.
Hening. Tak ada suara di
sana. Penyesalan mulai menghampiriku. Namun ibu tampak sumringah mendengar
ucapanku barusan.
“ Hallo Put. Masih di
situ nggak?” Aku berusaha mencairkan suasana yang semakin kaku.
Tut…telpon terputus. Tak
ada suara apapun yang terdengar olehku selain nada tut panjang dan
berulang-ulang. Kudapati sepasang mata ibu menatapku tajam.
“Kenapa Le? “ tanya ibu
dengan nada khasnya.
“Dimatiin Bu telponnya…”,
jawabku lemah.
“Ya sudah….dicoba besok
lagi. Mungkin kalau langsung lebih jelas Le.” ibu terus menepuk-nepuk
punggungku dan beranjak masuk ke dalam rumah. Kulihat bidadari malam tengah
dikepung kawanan awan hitam. Andai aku bisa mengusir awan hitam itu pasti sudah
kulakukan sejak tadi agar kau bisa menemani kegalauan hatiku ini. Tak lama aku
menatapnya, akupun menguntit ibu dari belakang.
Malam terasa begitu
panjang untuk aku lalui. Hatiku tak bisa tenang memikirkan Putri. Ada apa
dengan dia? Kenapa mematikan telponku begitu saja? Entah kenapa mataku terus
berputar-putar memandangi sekelilingku. Aku mencoba merapatkannya, namun
kembali terbuka.
Jambodia Casino - No Deposit Bonus for Indian
BalasHapusJambodia casino 동해 출장마사지 2021 review | Jambodia Bonus Code - Deposit and withdraw your winnings instantly. 김천 출장마사지 ✓ Grab your bonus 시흥 출장안마 code and get 순천 출장안마 ₹1000 + 군포 출장마사지 100 Free Spins.