Minggu, 03 Maret 2013

Titik atau Koma?


                                            
           
Langit malam ditemani oleh bintang yang gemerlapan beserta sang penjaga malam yang begitu menawan bila dipandang jauh oleh mata. Kawanan awan hitam tampak enggan merusak indahnya malam.  
Di bawah prajurit langit yang mengangkasa jauh dari pandanganku, aku merebahkan tubuh ini di atas gelaran tikar yang kubentangkan di pekarangan rumahku. Sambil memandangi sang bidadari malam yang tak sungkan menemani kesendirianku di malam ini. Terbesit dalam otakku bayang semu sang bidadari yang telah merenggut hatiku. Senyumnya begitu menyejukkan jiwa.
Bayang masa lalu terus berdatangan menjejali otakku. Aku yang dulu sangat jauh berbeda dengan aku yang sekarang. Semenjak pertemuanku dengannya dalam sebuah ajang English Speech Contest antar kelas X dan aku menjadi The Winner, sementara dia menjadi Runner Up- semangat menimba samudra ilmu semakin menggebu. Ghirah dalam diri ini untuk selalu menjadi yang lebih unggul darinya, semakin mengakar kuat. Pertemuan demi pertemuan selalu menyisakan rindu dalam dada. Benih-benih cinta semakin tumbuh dengan subur. Hari-hariku menjadi lebih berwarna berkat kehadirannya dalam hidupku.
kedekatanku dengannya semakin menjadi setelah kami menimba ilmu dalam satu ruang kelas. Seakan semua orang telah merestui kami. Dalam setiap kesempatan kelompok belajar di kelas, kami menjadi anggota tetap dalam suatu kelompok. Terkadang dia yang menjadi pemimpinku, terkadang pula aku yang menjadi pemimpinnya.  Dahaga jiwa yang telah lama kering kerontang kini telah terisi olehnya.
Ketidaksengajaan dalam kebersamaan kami terkadang menyulut api cemburu kaum lelaki yang menaruh hati kepadanya.
“Apa kamu tidak tahu banyak cowok yang suka sama kamu?”, kataku dengan sedikit mawas diri, takut menyinggungnya.
“Tahu. Emangnya kenapa?”. Raut mukanya berubah masam. Akupun tak berani melanjutkan perbincangan sore itu. Kami pun kembali melangkahkan kaki menuju peristirahatan masing-masing yang kebetulan satu arah denganku. Tanpa canda tawa lagi. Kami memang sering terlihat jalan bareng, berangkat ke sekolah, pulang dari sekolah, memburu buku di perpusatakaan dan terkadang makan bareng di kantin, layaknya sepasang kekasih. Aku berharap itu akan segera menjadi kenyataan dalam hidupku. Kacantikan jiwa dan raganya menimbulkan decak kagumku padanya.
“ Dhuha yuk! Inget lho semakin hari umur kita semakin berkurang”. Kerlingan matanya membuatku kikuk. Wajahku memerah seketika. Akupun menundukkan pandanganku padanya dan berjalan mengiringinya ke mushola. Dia sering membuatku gugup bila sepasang matanya menangkap gerak-gerik tubuhku.
“Apa yang kamu lihat, Put?”. Aku berusaha menghentikan pandangan matanya. Namun, usahaku tampak sia-sia. Mata bundarnya semakin menatapku dengan tajam. Dia tak menjawab pertanyaanku. Hanya senyuman manis, semanis namanya, Putri, yang dia suguhkan untukku. Aku semakin kikuk dibuatnya. Tangannya meraih rambutku dan merapikannya. Sentuhan jemarinya begitu lembut terasa. Indahnya hidup bila dipenuhi cinta.
“Putra…..”. Suara itu membuyarkan lamunanku. Wajah ini pun menoleh ke belakang. Terlihat ibu tengah berjalan mendekatiku seraya membawa nampan coklat berisi mendoan dan teh hangat.
“Boleh ibu temani, Nak?”
“Tentu Bu.”
Ibu memilih duduk di samping kananku. Kami pun bercengkrama layaknya sepasang kekasih yang tengah memadu cinta.
“Kayaknya anak Ibu lagi kasmaran nih.” Kata-kata itu begitu menyesakkan dada. Mendoan yang tengah bergoyang dalam mulutku, seketika itu pula berhamburan keluar dan mengotori celana oblongku. Segelintir dari mereka memaksa masuk ke tenggorokanku. Akupun tersedak dan menyambar gelas berisikan teh di depanku. Sementara ibu menepuk-nepuk punggungku.
“ Yang sabar kalau makan Le….”, kata ibu masih menepuk-nepuk punggungku.
“ Ibu sih….”. Suaraku pun menggemaskan ibu. Dia mencubit pipiku gemas.
“ Ayo ceritain ke Ibu. Masa Ibu nggak dikasih tahu?”, pintanya sedikit memaksa.
Tanganku merogoh sesuatu dalam kantong celanaku dan memberikan kepadanya.
“ Siapa dia?” tanya ibu sambil mengernyitkan dahi.
“ Namanya Putri, Bu. Dia teman sekelasku,” jawabku singkat.
“ Kamu suka sama dia?” Ibu mulai menggodaku lagi.
Aku tersipu malu. Mata ini tak berani menatapnya. Aku hanya mengangguk pelan diselimuti keraguan.
“ Dia udah tahu perasaanmu?” Aku hanya geleng kepala. Wajahku semakin menunduk malu. Melihat sikapku yang kekanak-kanakan, ibu meraih hand phone milikku dan memberikannya padaku.
“ Telpon dia!” paksa Ibu.
Dengan ragu aku mendial nomor Putri. Jantung ini semakin berdegup kencang saat suaranya terhubung denganku. Mulut ini berkomat kamit tak jelas apa yang diucapkan.
“ Assalamualaikum, Ra”. Suaranya mendobrak pintu hatiku. Seakan memaksaku untuk mengutarakan perasaanku padanya.
“ Waalaikum salam, aku ganggu nggak?” kataku mengawali perbincangan kami.
“ Nggak kok. Tumben telpon?”, tanyanya polos.
Huffs. Aku menghela nafas panjang dan mengatur irama detak jantungku. Sesekali aku berolah vokal sebelum berbicara kepadanya. Ibu yang sedari tadi di sampingku, terus berbisik kepadaku dan menatapku tajam yang membuat lidahku semakin kelu.
“ Put…sebenarnya aku…em….semenjak aku kenal kamu, aku merasa kamulah yang selama ini aku cari. Aku sungguh….menyukaimu Put”. Keringat dingin mengucur deras seakan memandikanku di tengah malam.
Hening. Tak ada suara di sana. Penyesalan mulai menghampiriku. Namun ibu tampak sumringah mendengar ucapanku barusan.
“ Hallo Put. Masih di situ nggak?” Aku berusaha mencairkan suasana yang semakin kaku.
Tut…telpon terputus. Tak ada suara apapun yang terdengar olehku selain nada tut panjang dan berulang-ulang. Kudapati sepasang mata ibu menatapku tajam.
“Kenapa Le? “ tanya ibu dengan nada khasnya.
“Dimatiin Bu telponnya…”, jawabku lemah.
“Ya sudah….dicoba besok lagi. Mungkin kalau langsung lebih jelas Le.” ibu terus menepuk-nepuk punggungku dan beranjak masuk ke dalam rumah. Kulihat bidadari malam tengah dikepung kawanan awan hitam. Andai aku bisa mengusir awan hitam itu pasti sudah kulakukan sejak tadi agar kau bisa menemani kegalauan hatiku ini. Tak lama aku menatapnya, akupun menguntit ibu dari belakang.
Malam terasa begitu panjang untuk aku lalui. Hatiku tak bisa tenang memikirkan Putri. Ada apa dengan dia? Kenapa mematikan telponku begitu saja? Entah kenapa mataku terus berputar-putar memandangi sekelilingku. Aku mencoba merapatkannya, namun kembali terbuka.

1 komentar:

  1. Jambodia Casino - No Deposit Bonus for Indian
    Jambodia casino 동해 출장마사지 2021 review | Jambodia Bonus Code - Deposit and withdraw your winnings instantly. 김천 출장마사지 ✓ Grab your bonus 시흥 출장안마 code and get 순천 출장안마 ₹1000 + 군포 출장마사지 100 Free Spins.

    BalasHapus